Wallahu a’lam, konon Gus Hasyim pun tak berani berspekulasi tentang
benar –tidaknya, settingan atau aslinya video tersebut. “Saya tak berani
mengatakan apapun tentang kematian seorang muslim. Sebab jika saya suudzan
sedangkan beliau benar-benar syahid, maka saya berdosa sebagaimana pembunuh
yang membunuh seorang muslim dengan zalim,” ujar Gus Hasyim serius.
Akan tetapi, beberapa tahun kemudian kembali terjadi peristiwa serupa.
Beberapa anggota ormas – atas nama- Islam wafat setelah – konon – melawan
petugas dalam operasi preventif penggalangan massa untuk “mengawal” seorang
tokoh yang hendak diperiksa petugas keamanan. Dan, sekali lagi dunia maya
digegerkan oleh foto “jenazah” salah satu martir yang tersenyum damai.
Dunia maya memanas oleh pro-kontra. Para netizen bijak bestari saling
bertengkar. Para netizen yang maha benar dan maha pandai juga mendadak menjelma
ahli forensik, kriminolog, psikolog kriminal, ahli ilmu deteksi kebohongan,
pakar hukum, pembela HAM dan entah apa lagi. Padahal, Wak Takrip pun paham jika
rakyat negara Cak Manap belum secanggih itu kualitas sumber daya manusianya.
Barangkali, di negara Paman Sam sana orang akan memilih tak ikut campur tentang
sesuatu yang bukan bidangnya. Tapi ini negera Cak Manap. Orang bisa kapan dan
di mana saja membuka gadget dan berdebat kusir di media sosial.
Selanjutnya, juga beredar video viral tentang pelangi yang menaungi
langit saat pemakaman para martir itu. Para netizen kembali mengklaim bahwa
mereka benar-benar syahid karena para biadari pun sudi turun ke bumi menyambut
arwahnya. Mengapa pelangi dikaitkan dengan turunnya 72 orang bidadari? Wak
Takrip menjelaskan memang demikianlah dalam dongeng-dongeng kuno. “Dulu saya
juga percaya kalau pelangi adalah selendang para bidadari saat turun ke bumi.
Warna-warni pelangi tersebut merupakan selendang para biadari, yang salah
satunya disembunyikan oleh Jaka Tarup,” katanya di warung Cak Manap.
Keyakinan ribuan netizen sepertinya mulai goyah dan ikut meyakini jika
pelangi di atas langit saat pemakaman para martir adalah selendang 72 bidadari.
Meski saat kejadian memang sedang musim hujan dan fenomena pelangi seringkali
terjadi, jika narasi-narasi terus didengungkan oleh –bisa jadi—para buzzer,
bisa saja meresap ke dalam alam bawah sadar dan diakui menjadi sebuah
kebenaran.
“Apa keuntungan para buzzer membangun narasi demikian dengan agenda
mereka?” gugat Arif.
“Bisa jadi, agar kita percaya jika seseorang yang wafat akibat
membangkang terhadap pemerintah, akan mendapat syahid. Ini berbahaya karena
tindakan pembangkangan bisa dianggap sebagai tindakan heroik bahkan suci,”
timpal Firman Murtado.
“Waduh, sampai segawat itu, ya?”
Akan tetapi, kecerdasan dan kemuliaan hati para netizen negara Cak Manap
yang bersedia meluangkan hampir semua waktunya, memang patut dipuji. Entah
siapa, tanpa mengharap imbalan apapun mencoba mengungkap fakta, bahwa foto
jenazah tersenyum itu ternyata tidak original. Seseorang yang kemudian dijemput
petugas, mengaku memfoto kawannya dengan mata terpejam dan bibir tersenyum,
kemudian diunggah ke berbagai media sosial dengan caption: “Subhanallah, wajah
syuhada yang wafat ditangan petugas ini tersenyum.”
“Saya memang sedikit ragu jika jenazah pelaku teror bisa tersenyum
begitu,” timpal Ustadz Karimun. “Andai pun korban mereka adalah non muslim,
saya juga tidak yakin. Allah tak pernah mengizinkan siapa pun untuk
membinasakan seseorang, kecuali dengan haq. Membunuh seorang anak manusia, sama
dengan membunuh semua manusia di atas bumi. Nabi juga bersabda jika menyakiti
non muslim dzimmiy, non muslim yang hidup damai dengan kita, sama dengan
menyakiti beliau. Dalam hati kecil saya bertanya-tanya, benarkah pelaku teror
yang menyebabkan melayangnya jiwa manusia –meski belum bersyahadat—diizinkan
oleh Allah? Apalagi, semua itu dilakukan di sebuah negara yang damai. Tanpa
peperangan. Dan korbannya, sebagian besar ‘orang tak berdosa’, bahkan saudara
seiman pelaku.”
“Berarti mereka bukan syuhada, ustadz?”
“Saya tak berani mengatakan begitu! Yang harus kita catat sebagai
pegangan di kemudian hari, ternyata ada orang nekat yang berani memanipulasi
kesyahidan. Ironisnya, kesyahidan itu selalu dikait-kaitkan dengan dengan 72
bidadari. Jika memang tujuan utama kita mengharap sorga adalah kemolekan
bidadari, alangkah niafnya umat ini. Jangan-jangan, kita tak jauh beda dengan
Mbah Jaka Tarub muda yang saking ndablegnya sampai tega menyembunyikan
selendang ‘bidadari’. Ah, kenapa agama kok seakan dijadikan muara dari pikiran
erotis semata?”
Penulis: Abdul Rozaq Editor: Makhfud Syawaludin
Sumber
: https://www.nupasuruan.or.id/pasuruan/mati-syahid-dan-pikiran-nakal-jaka-tarub/
0 komentar:
Posting Komentar