ABUSE
OF POWER
(Adi
Gung Adi Guno)
SAIFUL ARIF
Pendidik
& Praktisi Pendidik
Batara Guru datang ke desa Karangkadembel tempat
tinggal Semar yang kebetulan sedang bercengkrama bersama 3 orang anaknya.
Kunjungannya itu mempunyai maksud dan tujuan meminta pertanggung jawaban pada Bagong
atas sumpahnya yang mengakibatkan Kahyangan Suralaya gempar. Prilaku Bagong
tersebut yang diyakini melanggar aturan, maka harus dipertanggung jawabkan di
depan para dewa lainnya dengan menggelar sidang bersama. Batara Guru pun
meminta izin pada ki Semar agar mengikhlaskan jika Bagong akan dibawah ke Suralaya
untuk diadili. Tentu saja ki Semar tidak setuju begitu saja. Ki Semar berpendapat
jika sumpah Bagong tersebut bukanlah masalah serius yang harus ditanggapi.
Semar tahu jika kasus itu sengaja dibesar-besarkan oleh Batara Guru yang ingin
menjebak keluarganya untuk dihancurkan karena sifat iri dengki antar saudara. Bagaimana
pun Batara Guru ini adalah adik kandung Semar dari tiga bersaudara yaitu Togok,
Semar dan batara Guru. Namun karena keserakahan dari Batara Guru yang ambisi ingin
menguasai Kahyangan Suralaya. Karena fitnah dan kelicikan dia, Semar dan Togok
terusir dari Suralaya dan dipindah ke dunia. Bukan hanya itu saja ki Semar
dihukum oleh sang ayah Sang Hyang Wenang untuk menelan gunung dari sisi timur
dan dari sisi barat. Akibat hukuman tersebut maka perut dan mulut Semar berubah
besar seperti yang kita lihat sekarang. Batara Guru yang memegang kekuasaan di
atas kekuasaan para dewa, telah lupa dengan nilai keadilan dan kebijaksanaan.
Menggunakan kekuasaan tersebut untuk menekan, mengintimidasi dan melukai yang
lain tanpa mendasari nilai keadilan yang ada.
Bukan hanya itu saja, perbuatan Batara Guru itu pun
pernah memaksa Batara Brahma untuk menikahkan sang anak Desranala dengan
Dewaserani. Padahal saat itu status Desranala sebagai istri sah sang Arjuna.
Namun dengan kekuasaan tersebut menutupi nilai-nilai kebenaran yang harus
ditaati oleh siapa pun juga. Nafsu keserakahan mengakibatkan bayi Wisanggeni
lahir secara premature. Dengan perasaan takut sang kakek batara Brahmana
merelakan sang cucu dijeburkan ke dalam kawah candradimuka. Namun karena
pertolongan dari Sang Hyang Wenang bayi Wisanggeni tidak meninggal, namun
justeru tumbuh menjadi seorang pemuda yang sangat sakti. Inti dari kasus ini
adalah kekuasaan yang digunakan secara sewenang-wenang akan mengakibatkan
ketidak adilan. Rasa malu dan bersalah sudah tidak ada saat itu dalam hati
Batara Guru hanya karena desakan sang istri Batari Durga. Keputusan batara Guru
yang berimplikasi menyakiti hati Arjuna sebagai suami yang sah saat itu.
Abuse adalah suatu
tindakan tidak mengenakan yang di sengaja dan menyebabkan kesakitan secara
fisik, luka/cedera, penderitaan secara mental/emosional, perampasan yang
disengaja oleh pengasuh yang seharusnya memberi keamanan secara fisik dan
pemenuhan well – being secara emosional (McGraw-Hill,2002). Abuse of
power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang
pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang
lain atau korporasi. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau
perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan
korupsi. Tulisan tersebut di atas untuk mendasari opini dan asumsi selnjutnya.
Kasus batara Guru itu bisa kita tarik benang merah pada kasus realitas yang terjadi
sekarang.
Penyalahgunaan Wewenang Jabatan (Abuse Of Power)
masih saja kita jumpai di Masyarakat hingga saat ini. Jika mereka saling beda
pendapat saja, maka kekuasaan yang akan bicara sebagai problem solver-nya.
Sebagai rakyat kecil tentu mereka akan selalu kalah dan tertindas. Walaupun
mereka (rakyat) sering pada posisi yang benar. Tetapi karena beda persepsi dan
pandangan masalah, maka mereka harus mengalah dan menelan ludahnya. Istilah
terstruktur – sistimatis – Massive (TSM) memang sebuah dalil untuk menyatakan perasaan
yang kecewa atas keputusan sebuah perkara. Saya juga mengakui jika tidak semua
penguasa melakukan abuse of power. Kita masih berharap pemimpin yang
masih mempunyai hati nurani yang mendukung aspirasi rakyat. Kita melihat banyak
masalah yang masih terjadi yang membuat kita mengerutkan dahi sambil tersenyum
kecut. Apakah kasus yang sedang ditangani di Mahkamah Kostitusi (MK) sekarang
ini bukti adanya abuse of power? Tentu harus ada bukti dukungan yang
akurat. Jika melihat petitum-petitum yang diusulkan oleh pemohon saja
tentunya kurang adil dan realistis. Karena bagaimana pun semua itu harus ada
pembuktian yang real.
Jika kita mengikuti secara cermat sidang selama 3 hari
ini, banyak kasus yang dipetitumkan masih salah kamar. Artinya kasus yang
seharusnya diselesaikan di BAWASLU, namun dibawah disidang MK. Saya kira
pembaca tahu apa tupoksi bawaslu dan juga MK bukan!. Kasus salah tulis di TPS
tertentu tentu kurang elegan jika diselsaikan di tingkat MK, namun harusnya
ditingkat PPK (kecamatan saja). Bukankan di tingkat kecamatan ada saksi setiap
partai, bawaslu dan juga PKD. Ada hal yang aneh menurut saya yaitu selisih suara
hanya 4 suara saja di satu TPS 08 itu pun dibahas di tingkat MK. Padahal
selisih dari 2 paslon tersebut yaitu 55 juta. Apakah logis dengan selisih yang
besar tersebut diselesaikan dilembaga MK, bukan ditingkat kecamatan. Lalu apa
fungsi rekapitulasi suara hasil pemilu saat itu di tingkat PPK? Atau
jangan-jangan mereka tahu dan sudah dibetulkan, tetapi tidak mempunyai materi
gugatan maka masalah sekecil ini pun diangkat di MK.
Tuduhan abuse of power itu pun juga tak mampu
dibuktikan secara sah secara hukum krena tim kuasa hukum mereka mengacu UU no.7
tahun 2017 tentang pemilu. Bawaslu juga mengamati jalannya pemilu pun tidak ada
catatan sama sekali ke KPU. Dalam hal ini pemohon saat pengambilan nomer urut
dan debat pun tidak ada keberatan dengan semua itu. Maka tanpak aneh jika
pemohon merasa keberatan saat termohon menang dengan angka selisih yang besar
sekali. Jika ditanyakan lebih lanjut, apakah pemohon juga akan melakukan hal
yang sama apabila saja pemohon memenangkan kontestasi pemilu? Tentu saja
tidak. Bahkan pemohon pun medalilkan ada interverensi pemilu oleh
pemerintah sangatlah tidak mendasar sekali. Saya kira contoh tersebut saya cukupkan
di sini saja untuk kasus yang masih hangat ini.
Abuse of pawer
ini juga masih terkadang terjadi dilembaga-lembaga pendidikan yang berada di
bawah naungan yayasan. Kebiasaan mendekte pejabat struktural dalam menentukan
arah kebijakan-kebijakan masih harus mengikuti keinginan walaupun secara
yuridis melanggar aturan. Bagaiman
tidak!!! Terkadang mereka hanya sebagai boneka dan hanya berstatus
pelengkap saja. Kekuasaan yang mereka anggap mampu untuk memenuhi keinginannya.
Walaupun kadang sering keluar jalur regulasi yang sudah dibakukan dalam wujud
petunjuk teknis dalam pengolahan anggaran negara. Kisah ide yang selalu
berseberangan pun dianggap sebagai pengancam masa depan dan keberlangsungan yayasan
itu sendiri. Jika demikian maka abuse of power yang dimaksud adalah
sesat dan menyesatkan. Aktualisasi dari hal tersebut tentu tergantung dari
pemimpinnya. Menjadikan kekuatan dan kekuasaan sebagai alat untuk
mensejahterakan masyarakat pun itu juga ada, dan ini yang diharapkan secara massive.
Semoga kita diberikan pemimpin yang berhati mutiara yang berkilau dan bernilai
harga tinggi. Semoga, amin. #copyright2024
0 komentar:
Posting Komentar