Penulis : SAIFUL ARIF
Penyuluh Anti Korupsi
FPAK GTK RI MADRASAH
JAWA TIMUR Penyuluh Anti Korupsi (JATIM PAK)
Relawan Integritas Anti Korupsi (RIAK)
Kasus korupsi memang
tiada henti terjadi setiap hari dan bahkan bisa saja setiap saat tanpa kita tahu sebenarnya. Tujuannya sangat jelas ingin memperkya pribadi dengan melakukan berbagai kecurangn-kecurangan yang melanggar aturan hukum. Korupsi yang
dibagi menjadi 7 bagaian menurut UU No. 20 Thn. 2001 tentang
tindakan korupsi diantaranya adalah GRATIFIKSI.
Dalam coretan kali ini saya akan
bercerita tentang gratifiksi dilihat atau perspektif
pendidikan.
Dikutip dari Buku Saku Memahami Gratifikasi (2014),
dalam Pasal 12 B Ayat 1 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001 dijelaskan pengertian gratifikasi. Gratifikasi
adalah pemberian dalam
arti
luas
yakni meliputi
pemberian
uang,
barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam
negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik
atau tanpa sarana elektronik. Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang
diatur dalam Pasal 12 B
dan
12 C UU Tipikor sejak 2001. Namun, bila penerima gratifikasi
melaporkan pada KPK
paling lambat 30 hari kerja maka dibebaskan dari ancaman pidana gratifikasi. Ketentuan mengenai gratifikasi menurut
UU tersebut adalah:
1. Bila nilai gratifikasi Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan
suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi.
2. Bila nilai kurang dari Rp 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
3. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun
dengan denda minimal Rp
200 juta dan maksimal Rp
1 miliar.
Komisi Pemberantasan Korupsi, mengatakan bahwa salah satu kebiasaan yang berlaku umum
di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang
atau
bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang
bersifat
negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi
inilah yang
berusaha dicegah oleh peraturan UU Tipikor. Oleh karena itu, berapapun nilai
gratifikasi yang
diterima Penyelenggara Negara atau
Pegawai Negeri,
bila
pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri tersebut segera melapor ke
KPK untuk dianalisa lebih lanjut.
Pada kesempatan kali ini saya akan membahas
bukan besar atau kecilnya gratifikasi yang
diberikan pada orang lain, namun dampak jauh kedepannya yang harus kita
pikirkan secara
bersama-sama. Dalam dunia pendidikan hal yang
paling pokok adalah
memberikan
suri tauladan pada
seorang didik. Memberikan
sesuatu pada
atasan atau wali
kelas, guru bahkan para pemangku pendidikan sebagai balas jasa karena telah menolong
wali murid atau peserta didik.
Jika kita lakukan di depan siswa atau anak didik maka akan memberikan
kesan lain
dan merubah mindset anak
tersebut. Sebab kesan yang
direkam anak
bukan pada kalimatnya,
tetapi lebih pada
sebuah tindakan.
Mungkin sedikit ilustrasi dalam menyikapi “GRATIFIKASI”
bukan besar kecilnya uang yang
diberikan namun pada tindakan yang
bisa ditiru sang anak. Ketika Pak Rama Handoko dalam
webinar yang
bertema “Sinergisitas dalam membangun pendidikan anti korupsi di Madrasah” mendapatkan sebuah pertanyaan sebagai berikut: “Katanya sekarang sudah
tidak boleh
lagi memberikan
sesuatu
tips pada wali kelas, padahal pemberian
tersebut jika di lihat dari angka sangat kecil
sekali?”. Pemirsa
yang budiman, dalam
kasus seperti ini bukan di
lihat besar
kecilnya pemberian pada wali
kelas, namun
dampak dari apa yang dilakukan
orang tuanya terhadap sang wali kelas. Pemberian sikap tauladan yang baik pada sang anak adalah hal yang
pokok yang selanjutnya akan
membentuk karakter individu yang baik
dan kokoh.
Sebagai ilustrsi dari penjelsan di atas : seorang
ibu
yang ikut komunitas Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) mengantarkan anaknya tiap
hari
ke sekolah
tanpa keterlambatan
sama sekali
mulai kelas 1 hingga kelas 3. Namun suatu saat mereka terlambat karena suatu
hal.
Paniklah ibu
dan
sang buah hati karena
keterlambatan tersebut dan dalam pikiran kalutnya
mereka akan
hukuman yang
di terima oleh anaknya. Benar saja, ketika mereka sampai di depan
pintu sekolah,
sang
anak di suruh baris dibarisan
mereka yang
juga terlambat. Sang
anak
marah-marah pada ibunya. Lalu ibunya minta maaf dan tidak akan mengulangi perbuatannya kembali. Maka
dipasanglah alarn yang dobel-dobel untuk antisipasi keterlambatan lagi. Tiba pagi hari sang
ibu pun membangunkan sang anak agar tidak terlambat lagi. Namun sang anak sangat sulit untuk dibangunkan bahkan terkesan mala-malasan. Tentu saja ketika mereka berangkat ke sekolah
menjadi terlambat lagi. Hari berikutnya terjadi demikian dan seterusnya sampai hari keempat. Sang ibu tentu berpikir, “Ada apa dengan anak saya ini kok terjadi perubahan, yang tadinya
ketakutan ketika dia terlambat. Namun sekarang malah tenang-tenang
saja tanpa
ada rasa ketakutan”.
Ketika sang
ibu mengantar buah
hati
sampai di depan
pintu
gerbang
sekolah dan
sudah pastinya terlambat, sang ibu tidak langsung
pulang. Tetapi ingin tahu apa sebenarnya yang
terjadi. Sambil mengendap-endap sang
ibu melihat anaknya yang masuk halaman sekolah. Tetapi anehnya adalah sang anak tidak di suruh berbaris dengan anak yang sama-sama terlambat. Tetapi
oleh
SATPAM langsung
dipersilahkan langsung masuk kelas. Biasanya mereka yang
terlambat dipersilahkan masuk dijam berikutnya. Ini tidak terjadi padak anak ini, seperti ada prioritas
tersendiri. Bagai disambar
petir sang ibu tersebut “Atgfirullohal Adzim,
gumamnya…”.
Sang
ibu
terus berpikir, mengapa demikian! Memberikan prioritas pada sang
buah hati saya. Padahal sama-sama terlambat namun tidak diperlakukan seperti demikian. Lalu dia teringat jika
setiap
mengantar
anaknya berangkat sekolah dan
sampai di pintu gerbang
sekolah “selalu
memberikan
tips pada SATPAM uang sebesar
Rp 5000 setiap hari”. Inilah penyebab anaknya menjadi berubah drastis merubah karakter anak yang tadinya rajin dan ada rasa takut jika dia terlambat. Namun sekarang
menjadi anak pemalas dan tak
ada rasa ketakutan sama sekali jika dia
terlambat. Dalam pikiran sang
anak tiadak
ada
rasa takut adalah “Karena masih ada
mama yang selalu memberikan tips pada SATPAM dan tidak mungkin SATPAM menghukum saya”.
Subhanalloh, mari kita lihat pemirsa yang budiman kasus di atas. Bukan soal Rp 5000 kita
melakukan gratifikasi pada seseorang, namun pada konteks
apa
semua itu terjadi yaitu dunia pendidikan. Kejadian itu sangat sering
dilihat oleh sang buah hati hingga apa yang dia lihat
menjadi sesuatu keharusan yang harus
dia
lakukan. Karena anak menganggap itu hal biasa dalam
pikiran yang polosnya. Namun tidak demikian, dampak yang ditimbulkan sangat massive dan
sangat mengejutkan. Banyak hal seperti ini dijumpai dalam kehidupan kita dan sering sekali
terjadi tepat dimata buah hati. Masih ingat dengan sebuah film yang berjudul “Kurang 2 ons”. Ini kasus hampir menyerupai bahwa jika anak lebih peka pada apa yang dia lihat, bukan apa yang dia dengarkan.
Jika kita sadar menjadi pendidik di tingkat sekolah dasar,
maka
sikap kehati-hatian
kita
menyampaikan materi, sikap, toleransi dan bahkan
saling
menhgormati adalah hal pokok yang diperhatikan anak. Anak atau peserta didik akan lebih banyak meniru dari apa yang kita lakukan daripada apa yang kita katakan. Lihatlah kasus keterlambatan guru setiap datang ke kelas yang kemudian menjadi suri tauladan siswa. Siswa lebih
banyak melihat sikap guru
dari
pada yang dikatakan guru sehingga ketika guru bersikap untuk datang
terlambat maka sikap siswa pun demikian untuk mengimplementasikan sikap tersebut. Oleh karena itu sikap kehati-hatian ini yang
harus selalu dijaga marwahnya dalam setiap tindakan. Bukankah sikap KEHATI-HATIAN
adalah cerminan Ahli Sunnah
Wal
Jama’ah? Tetapi terkadang kita lupa pada falsafah
tersebut.
Mungkin contoh kasus yang
sekarang
terjadi dilingkungan kita, dimana masa Pandemik Covid19 telah
merubah system pembelajaran. Awalnya dengan
tatap muka dengan guru, namun
dirubah menjadi Pembelajaran Jarak jauh (PJJ). Siswa hanya menerima tugas dari guru dan dikerjakan di rumah dan kemudia dilaporkan melaluhi grop WhatsApp. Kegiatan daring
bagi sisiwa tingkat
TK/RA
menjadi problem sendiri bagi saya sebagai penulis. Tugas yang diberikan oleh guru melaluhi kesepakatan Ikatan Guru TK (IGTK) atau Ikatan Guru RA (IGRA) memutuskan apa saja yang harus ditugaskan
pada
siswanya. Kesepakatan tugas tersebut kemudian
di sosialisasikan pada guru di tingkat satuan pendidikan (mungkin saya bahas pada kesempatan yang lebih luas
lagi).
Saya tidak menyalahkan guru-guru tersebut, namun kapasitas anak usia 6
thn
mengerjakan tugas
tersebut sangatlah berat. Suatu misal tugas
anak membuat mobil-mobilan dari kardus, membuat
model computer dari kerdus,
model tas dari kerdus tentu
ini
tugas yang nustahil untuk
dikerjakan.
Sementara tugas harus hari itu juga dikumpulkan, maka mau atau tidak mau orang tua harus
berperan aktif agar tugas terselesaikan. Bahkan urusan
mewarnai sebuah
model obyek yang telah
ditentukan saja seperti rumah,
masjid, pohon atau yang lainnya masih dikerjakan oleh orang tua. Pemirsa, sekali lagi jangan dilihat dari kecilnya sebuah kasus, tetapi dampak yang
tercipta di
bawah alam sadar anak, ini yang harus dipikirkan. Pemberian gratifikasi ternyata bukan hanya
diberikan pada pejabat Negara yang telah membantu sebuah kepentingan, tetapi pada sang buah
hati
juga tak sengaja kita lakukan
dan
diberikan berkali-kali yaitu
memberikan bantuan
lebih mengerjakan
Pekerjaan Rumah
yang diberikan
guru.
Kejadian demi kejadian yang saya lihat dari satu keluarga ke keluarga lainnya,
bahkan
dari kampong satu ke kampong yang
lainnya ini benar-benar menjadi evaluasi bagi sang pemangku
kebijakan atau steak holder. Bahkan “Bimbingan
Belajar” pun juga ikut cawe-cawe dalam mengatasi problem daring ini. Mulai dari tingkatan TK/RA bahkan SD/MI yang banyak kita jumpai. Alasan simple jika orang tua tidak mau anaknya dihukum bahkan diberikan nilai yang tidak diharapkan. Namun mereka lupa bahwa belajar itu adalah PROSES
dan
harus dilakukan tahap demi tahap secara hirarkis. Bukan
bim salabim lalu dengan cara membantu mengerjakan
tugas pada anak. Kejadian ini sangat membekas
di otak anak jika ada PR maka anak akan mengharapkan bantuan jawaban dari orang tua lebih-lebih bimbingan belajar. Marilah dievaluasi lagi pemberian tugas pada anak terutama TK/RA yang lebih mudah bahkan sangat mudah sekali agar
siswa mampu
mengerjakan
dan orang tua tidak
ikut
memberikan jawaban
tersebut.
Tugas-tugas tersebut tentu dewan guru TK/RA lebih tahu kapasitas
anak didiknya, misalkan bernyanyi dan ini sudah ada “It’s Ok…”. Tetapi masih banyak hal yang harus dievaluasi lagi. Konsep sudah bagus tetapi beban soal jangan telalu berat agar tidak terjadi GRATIFIKASI
dalam dunia pendidikan yang
akan
mempengaruhi prilaku
dan karakter calon pemimpin masa depan
bangsa.
#menanglawankorupsi
#tetapsemangat
0 komentar:
Posting Komentar