ANTARA
GRATIFIKASI DENGAN SHODAQOH
Penulis : Saiful Arif
Penyuluh Anti Korupsi JATIM
Siapa yang tidak kenal dengan kata dan
istilah gratifikasi. Merupakan satu diantara tujuh kasus tindakan korupsi
menurut UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20
tahun 2001 yang merumuskan 30 bentuk tindakan korupsi yang kemudian
dikelompokan menjadi 7 bagian. Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah Pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di
luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik. Pengecualian:Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) : Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang Mengatur Gratifikasi tentang pasal
12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi Setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya. Sementara pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Untuk Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001 Pidana penjara
seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. WOW…ngeri
dan luar biasa sanksi dan denda yang diterimanya. Padahal dalam pasal tersebut
juga dikatakan bahwa patut di duga saja asal yang melakukan pejabat Negara atau
ASN maka sudah dapat dilakukan penindakan. Benar-benar aturan yang sanagat
detail dan patut di acungi jempol.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hanya
sebatas hadia saja, namun sanksi yang diterimanya begitu “BERAT” secara manusiawi. Mari kita lihat lebih mendalam lagi,
seorang pejabat dan abdi Negara bertugas melayani rakyat secara maksimal agar
terjadi rasa keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan kedamaian. Mereka sudah
digaji oleh Negara berdasarkan golongan dan tingkatannya. Gaji tersebut
dialokasikan dari APBN 70% pajak rakyat. Pendapatan pajak dari beberapa sector diantaranya
hasil usaha rakyat kecil. Untuk mendapatkan uang rakyat kecil harus bekerja
keras dan sekeras-kerasnya agar bisa memenuhi kewajibannya sebagai warga Negara
yaitu patuh membayar pajak tepat pada waktu yang ditentukannya. Dikala mereka
harus mengemban amanah tersebut ternyata telah melakukan perbuatan curang
dengan menyalahgunakan jabatan yang diberikan dengan memperkaya diri mencari
nilai tambahan gaji melaluhi belas rasa terimakasih kepada mereka yang telah
diberikan pelayanan sesuai dengan tupoksinya. Kekhawatiran terjadi kecemburuan
sosial diantara yang lain mungkin satu faktor pertimbangan juga dalam menjaga
dislokasi antar pegawai Negara.
Totalitas ikhlas beramal dan berbuat yang
merupakan buah implementasi maupun intepretasi dari UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001 dan dalam pasal 12B adalah sebuah keniscayaan dari
hebatnya salah satu lembaga Negara bidang eksekutif kita yaitu KPK. Tentu kit
berharap pemain di dalam KPK benar-benar mempunyai nilai Integritas yang
mumpuni dan bukan hanya isapan jempol belaka. KPK adalah kendaraan hebat dan mulia
yang harus dihuni oleh orang-orang mulia juga baik dari sisi akhlaqul
karimahnya. Nilai-nilai yang diajarkan bahkan lebih hebat dan islami dari islam
saya. Mengapa? Dalam islam shodaqoh masih diterima sebagai bentuk rasa
terimakasih kepada seseorang yang kita tolong dan bantu dalam menyelesaikan
masalah. Namun, di tubuh KPK itu semua dianggap pelanggaran dan kecurangan.
Subhanallah, seandainya dalam UU
tersebut pejabat dan ASN diperluas lagi diganti menjadi bagi semua makhluk manusia
tentu akan terjadi kemakmuran dan kemaslahatan tingkat dunia seperti yang telah
dilakukan oleh kanjeng rosul kita Muhammad SWA.
Tradisi dalam ajaran islam memberikan
sesuatu kepada sesame manusia secara luas dan kepada saudara muslim secara
sempit merupakan bentuk ajaran secara komprehensip bagi pemeluknya. Banyak tradisi-tradisi
yang sering dilakukan oleh orang-orang muslim dalam beramal dan bersodaqoh
untuk membantu mereka yang sedikit dilanda persoalan. Shodaqoh ini berbagai
macam jenisnya, mulai dari tenaga atau harta yang pemberiannya baik secara
langsung atau tidak langsung.
Secara
harfiah, islam berarti ‘damai’, ‘selamat’, ‘aman’, atau ‘tenteram’, (Lihat
Ismail bin Hammad Al-Jauhari, As-Shihhah: Tajul Lughah Washihahul Arabiyyah,
[Beirut, Darul Ilmi: 1990 M], cetakan keempat, halaman 1951) yang semua itu
mengacu pada situasi yang sangat didambakan setiap orang. Situasi ini tidak
hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh semua umat manusia di mana pun, bahkan
hewan dan tumbuhan sekalipun. Kemudian, secara konseptual, Islam merupakan agama
yang mengajarkan monoteisme tauhid yang harus diwujudkan dalam bentuk
kepasrahan diri dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya sebagai utusan pembawa
rahmah guna meraih kebahagiaan dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat
(Surat Al-Baqarah ayat 201). Namun, kebahagiaan itu tidak akan pernah terwujud
tanpa kedamaian dan kasih sayang di antara sesama.Intinya, dengan membawa misi
damai dan kasih sayang itulah risalah Islam diturunkan ke seluruh alam (Surat
Al-Anbiya ayat 107).
Sebagai
manusia yang diberi kesempatan untuk mencari harta baik (thayyib) di muka bumi, Allah SWT
memerintahkan hamba-Nya untuk membagi sebagian rezeki tersebut kepada orang
yang membutuhkan. amalan kebajikan
dengan sebiji kurma sekalipun dapat menyelamatkan diri dari panasnya api
neraka. Dengan catatan, amalan itu dilakukan secara ikhlas dan tanpa perasaan ingin dilihat atau dipuji orang lain,
semata-mata hanya karena Allah SWT.
Seperti sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam:
فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
"Jagalah diri kalian dari neraka meskipun
hanya dengan sedekah setengah biji kurma. Barangsiapa yang tak mendapatkannya,
maka ucapkanlah perkataan yang baik." (HR. Bukhari no. 1413, 3595 dan
Muslim no. 1016).
Dalam artian yang luas dikatakan bahwa
sebiji kurma yang dimaksud bukan artian yang leterleg, namun pada ucapan atau
senyumman yang baik dan ikhlas sehingga menimbulkan rasa suka cita pada sesame.
Sodaqoh yang paling di anjurkan adalah kepada mereka yang sangat membutuhkan
seperti mereka yang terlilit hutang dan juga sanak saudara.
Mari kita cermati
bersama-sama tentang sodaqoh ini, ada 3 hal yang harus digaris bawahi yaitu pertama, harta atau uang yang akan kita
gunakan sodaqoh adalah hasil kerja kita sendiri, kedua, diberikan kepada yang sangat membutuhkan dan ketiga, tidak ada ikatan rasa
terimakasih kepada orang lain. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّيْ أَحَدُكُمْ فُلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ
"Barangsiapa
yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik,
sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan
menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengembangkannya untuk pemiliknya
sebagaimana seseorang merawat anak kudanya hingga ia menjadi seperti gunung
yang besar." (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014)
Dalam hadis Al-Bukhari dan Muslim, gusti
kanjeng Rasulullah memang memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai waktu yang paling
baik untuk banyak-banyak bersedekah, terutama pada hari Jumat Ramadhan, 10 hari
terakhirnya, dan 10 hari awal bulan Dzulhijjah serta hari raya.
Diantara sekian tradisi di pondok
pesantren adalah “Salam templek” seorang santri kepada pengurus atau seorang
kiai atau bu yai sebagai bentuk rasa hormat dan takdimnya. Memang tidak semua
pondok pesantren demikian, tetapi jika kita tetap memegang tradisi lama, maka
hal tersebut disikapi sebagai bentuk yang wajar-wajar saja. Pemberian santri
kepada kiai atau bu yai apakah termasuk kategori sodaqoh? Jika kita mengacu
pada 3 hal difinisi sodaqoh tersebut tentu menurut pendapat al faqir bukan
termasuk kategori sodaqoh karena dianggap masih mampu dan tidak membutuhkan
bantuan. Namun dianggap pemberian sebagai bentuk rasa terimakasih karena putra
dan putrinya telah di asuh dan dirawat dengan memberikan ilmu agama secara
komprehensip.
Jadi, sangat jelas kedudukan GRATIFIKSI dan SODAQOH dua kalimat yang
mirip tapi beda dalam implementasinya. Gratifikasi ditindak karena pejabat dan
ASN sebagai pelayan masyarakat dengan upah atau gaji yang diterima dari
keringat kerja rakyat. Sementara sodaqoh dalam perspektif islam diberikan
kepada orang yang sangat membutuhkan dan sang pemberi tidak ada ikatan dengan
siapapun dan adanya penggajian. Sifat dari orang yang sodaqoh adalah melayani
dan membantu. Luar biasa, selain dia
harus kehilangan sebagian hartanya namun juga dia berfungsi sebagai pelayan
bagi yang membutuhkannya. Jika UU no. 20 tahun 2001 di laksanakan dengan penuh
keikhlasan dan bersungguh-sungguh atas dasar rasa ketuhanan dan kemanusiaan,
tentu akan dapat tercapainya rasa keadilan sosial bagi umat manusia khususnya
bangsa Indonesia. kedudukan ini akan bisa mengangkat harkat dan martabat
sebagai pejabat publik dengan islam yang lebih kaffah jika benar-benar
dilaksanakandan itu adalah islam secara komprehensip. Dapat disimpulkan islamnya lebih islam daripada islam saya. (MSWI)
0 komentar:
Posting Komentar