Terkadang saya berpikir jika
menjadi seorang guru atau pengajar itu mudah dan gampang! Ternyata justeru
sebaliknya. Setumpuk dan segudang amanah dan tanggung jawab sudah menanti di
depan saya dengan segala kompleksitas persoalan di dalamnya
bagai komposisi obat penyembuh rasa sakit. Namun yang menjadi aneh dan masih
menjadi tanda tanya besar bagi saya adalah, “Mengapa masih banyak saja orang
yang ingin dan bahkan menjadi guru, tetapi banyak melupakan tanggung jawabnya
sebagai pendidik yang mengemban amanah dari wali murid dan juga negara?”.
Dalam kesempatan saya menjadi
guru, banyak hal yang sudah saya lakukan guna meningkatkan kompetensi diri,
mulai dari mengikuti pelatihan, seminar, workshop dan juga nimbrung diberbagai
grop profesi guru di jejaring sosial diantaranya whatsapp (WAG). Tetapi apa
yang saya dapatkan di setiap group dengan berbagai obrolan, share artikel atau
informasi masih jauh dari kebutuhan saya sebagai guru. Lebih
banyak dagelan dari pada sekedar meberikan vitamin informasi kebutuhan bagi
saya secara pribadi. Group lebih menonjolkan narsis diri dengan membandingkan
diri lebih unggul daripada yang lainnya. Sebuah contoh group saya ikuti adalah
organisasi guru dengan peserta atau anggota lebih dari 200 orang. Saya berharap di forum tersebut ada informasi atau ilmu yang saya peroleh dari kumpulan orang-orang hebat ini,
namun mereka hanya sekedar jualan informasi di luar substansi seorang
guru.
Seandainya saja masing-masing
pribadi mau mengembangkan diri dengan berbagai informasi penunjang kompentensi
profesi, tentu ini akan elegan dan lebih mengasyikan untuk dibaca. Kailmat dagelan
ngalor lan ngidul dengan gaya dan ciri khas Bahasa membuat saya muak
dan menggelengkan kepala ini. Merasa sebagai seorang ustad dan kiai dengan
basis pendidik, bukan mengajak bagaimana cara kita mempersiapkan diri untuk
tampil mengajar dengan persiapan yang matang di esok pagi, justru ajakan sholat
TAHAJUD yang diserukan berkali-kali. Tentu ini menjadikan saya jadi tertawa
dalam hati, “seolah-olah” dia paling hebat di dalam hal mengerjakan ibadah
sunah dibanding yang lainnya. Atau mungkin dia ingin menunjukan bahwa dirinya
rutin melakukan ibadah tersebut. Lho…. Apakah hal demikian tidak baik?, saya
jawab dengan TEGAS, ya…. baik-baik saja. Tetapi tidak perlu dilakukan secara
berulang-ulang yang menjadikan kita seolah-olah kita ini manusia pelupa.
Bagi saya justeru setiap malam
kita seharusnya selalu dingatkan bahwa “Apakah teman-teman guru sekalian sudah siap dengan
pembelajaran esok hari? Marilah kita sambut hari esok semangat pembelajaran dengan
MERDEKA BELAJAR. Kalimat tersebut tentu akan membuka pikiran kita (mine set)
lebih pro aktif terhadap sebuah tanggungjawab profesi. Mungkin membagikan RPP
atau strategi pembelajaran DARING dengan berbagai persoalan yang timbul baik
dari siswa, guru, atau sarana dan prasarana sekaligus bicara sumber daya
manusia (SDM). Hal demikian akan menarik dan semangat untuk diikuti. Sebuah pertanyaan
dari anggota group misalnya tentang bagaimana cara mengatasi siswa yang suka
tidur di kelas. Masalah sedehana namun sering terjadi tersebut dibahas diforum
dengan gaya Bahasa yang dikaji dari dua persepsi baik secara agama atau sosial
masyarakat. Waaahhhh… tentu menarik forum tersebut untuk diikuti, daripada mengshare
info yang tidak ada kaitannya dengan profesi kita sebagi guru. Ingat! mas Menteri
Pendidikan sudah menluncurkan program MERDEKA
BELAJAR. Diantara merdeka belajar yang pertama adalah tentang RPP satu
lembar, kurikulum, PPDB berbau zonasi.
Mari jadikan group kita dalam
jejaring sosial mendukung dan bisa meningkatkan kompetensi kita menjadi
pendidik. Setiap persatuan guru dengan organisasi apapun, sebaiknya info itu
tidak melupakan substansi seorang pendidik. Subyek guru adalah
siswa dan obyek guru adalah mata pelajaran. Jadi harus dibedakan jika kita
ingin mengimplementasikan MERDEKA BELAJAR. Jangan sampai kebalik, jika dilakukan
maka kita sama saja mengurung siswa dalam kebebasan belajar. Berikan kesempatan
anak kita lebih berkreatiftas dengan menemukan jati diri sebagai manusia
seutuhnya guna menyongsong generasi emas tahun 2045 mendatang. Generasi sebagai
calon pemimpin bangsa yang amanah, bertanggung jawab dalam setiap perbuatan,
namun juga mempunyai rasa kepedulian tinggi (sense of belonging) terhadap lingkungan
masyarakat. Ini tidak bisa kita lakukan bin salabin, tetapi harus
diikuti ethos kerja keras dari seorang pendidik. Bukan hanya sekedar ucapan
sebuah retorika semu, tetapi lebih kefakta perbuatan kecil namun ikhlas seta
berkelanjutan.
#Salammastersay
0 komentar:
Posting Komentar