DARI
SINILAH SEHARUSNYA DIMULAI
MENANAMKAN
RAHMATAN LIL ALAMIN DALAM KELUARGA
(Upaya
Membentuk dan Memperkuat Sikap Antikorupsi Pada diri Pribadi Anak)
Penulis
: SAIFUL ARIF
Sang
kekasih Allah SWT adalah insan pilihan yaitu pilihan dari segala pilihan, “Basharun
kal Bashar” bukanlah makhluk sembarang yang bisa dibanding dan sebanding dengan
ciptaan yang lain. Adanya alam jagad raya tercipta ini semua karena rahmat atas
kehadiran beliau. TUJUAN esensial
diutusnya baginda Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul adalah menjadi
rahmatan lil'alamin (rahmat bagi semesta alam). Hal ini
sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam Alquran, “Dan tidaklah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS.
Al-Anbiya: 107).
Sikap menghargai
dan tolenransi antar semua ciptaan Tuhan adalah bentuk misi beliau tanpa
pandang dari arah mana beliau memulai berdakwa. Ucapan, pitutur santun dan
rendah hati bagaikan tetesan embun dipagi hari saat kita dilanda dahaga yang
mampu memberikan asupan energi dalam jiwa raga. Seandainya saja nilai mendalam
dari kalimat rahmatan lil alamin ini endarah daging dan bahkan menjadi tradisi
kita sebagai makhluk sosial tentu akan terciptanya keharmonisasian hidup
berdampingan. Terkadang kita melihat diberbagai media, seseorang sudah tidak
ada rasa malu mengumpat, menghajar dan membully sesama karena perbedaan
pendapat.
Beliau K.H.
Abdurahman Wachid (Gus Dur) pernah berkata bahwa “cintai dan hormatilah
setiap makhluk bukan karena agama, kenyakinan, golongan atau kecantikan dan
kekayaan harta benda tetapi cintai dan hormatilah semuanya karena dia adalah MAKHLUK
CIPTAAN ALLAH SWT”. Menyampaikan sebuah kebenran bukan hal ynag
mudah dan gampang, namun penuh dengan kesabaran. Sebagai pemimpin rumah tangga
juga pemimpin bagi diri sendiri, seorang ayah tentu tugas yang berat harus
diemban dalam menciptakan manusia masa depan. Manusia harapan bagi semua
makhluk hidup di jagat alam raya ini. Kegagalan membentuk karakter anak yang
mempunyai sikap mau peduli terhadap masalah orang lain adalah sebuah
keniscayaan. Pola Pendidikan yang memberikan suri tauladan yang baik da
berakhlak sangat berat dan penuh derita sakit hati. Secara umum seorang ayah
mengajarkan hal-hal yang dianggap baik dengan cara memberikan “PERINTAH” pada
anak. Maksud dan tujuan agar di belajar dan memahami sesuatu yang dianggap
perlu. Tetapi seorang ayah atau juga ibu tidak menyadari bahwa apa yang dia
lakukan akan membunuh karakter anak-anaknya. Karena terdapat partisipasi yang
terpaksa sekaligus memaksa bagi emosional anak.
Sikap emosional
anak diusia remaja rentan dengan sikap membankang kepada orang tua karena merasa
urusan diri sendiri tercampuri dengan urusan yang lainnya. Sikap membantah dan
tak mau peduli dengan perintah atau keinginan orang tua yang menyebabkan kita
sebagai orang tua akan SAKIT HATI. Sampai pada kalimat inilah kemudian
saya berpikir sangat mendalam sekali dan bahkan rasa ini pernah saya sampaikan
kepada sahabat saya bahwa jangan pernah kita melakukan perbuatan suka perintah pada
sang anak. Dari
Abdullah bin ’Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda “Ridha Allah tergantung pada ridha
orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (Hasan.
at-Tirmidzi : 1899, HR. al-Hakim : 7249, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Kabiir : 14368, al-Bazzar : 2394).
Dari hadist Riwayat tersebut di atas kita harus berpikiran jernih dan sehat
bahwa jangan pernah memberikan beban kepada anak yang menjadikan Allah muraka
terhadapnya. Jika Allah SWT marah kepada anak kita dan mengutuknya maka pintu
kesuksesan hidupnya bakal tertutup dan hilang. Tidakkah kita kasihan melihat
kondisi seperti ini?. Oleh karena itu sebagai pemimpin rumah tangga kita harus
sebisa mungkin bersabar dan selalu menahan emosi agar sang anak merasa nyaman
dan tentram jiwanya tanpa adanya perintah dari oang tua yang dianggapnya
mengganggu dunia mereka. Terus apa anak dibiarkan terus begitu! Kayak raja yang
tiap hari ongkang-ongkang kaki sambil makan-makan kecil seperti seorang
juragan?. Tentu jawabannya tidak juga, namun harus ada sikap suri tauladan yang
baik seperti nabi Muhammad SAW.
Sedikit penggalan pengalaman penulis dalam kasus ini, dalam menjalankan
roda kehidupan rumah tangga tidak berkali-kali menggunakan jari telunjuk untuk melakukan
perbuatan perintah terhadap siapa pun di rumah kecuali perintah lingkup kecil
yang jarang penulis lakukan. Misalkan perintah tersebut seperti ,”tolong lap
air yang ada di depanmu! Atau perintah “jika kamu ke depan tolong
sekalian ambil HP”. Penulis sangat khawatir akan kejadian terlaknatnya
seorang anak karena melanggar perintah orang tua. Yang harus dilakukan adalah
berikan CONTOH dan CONTOH pada sang buah hati, bagaimana cara berkehidupan
yang benar seperti kasus umum, menaruh pakain kotor pada tempatnya, mengatur kamar
tidur pribadinya. Bahkan penulis pun berusaha menata kamar sang anak hingga
terkadang sampai 8 kali atau bisa juga lebih dalam waktu sehari. Ketika sang
buah hati keluar untuk mandi, maka saya masuk kamarnya untuk sekedar merapikan Kasur,
pakain juga alat-alat lainnya yang berserakan. Dan beberapa menit ketika anak
datang maka akan berpikir bahwa sekarang sudah ditata oleh orang tua sehingga
timbul pikiran positifnya. Harus dilakukan secara berulang dan berulang dengan
langsung memberikan contoh kongkrit kepada anak agar menjadi tontonan menu yang
membangun karakter yang dapat melekat dalam jiwa anak.
Pada akhirnya sikap ”uswah” yang selalu ditunjukan pada anak akan
memberikan kesan santun sekaligus membangun karakter diri pribadi yang suatu
saat akan menjadikan seoran pemimpin yang bertanggungjawab. Pendidikan informal
ini adalah sebagai Langkah awal penanaman sebuah pengalaman akan jati diri sebagai
insan yang mempunyai sikap sense of belonging yaitu sikp rasa memiliki
sesuatu untuk dijaga atau dirawat. Ketika orang tua terbiasa memerintah kepada
anak maka hanya situasi konflik yang akan tercipta dengan segala
ketidakikhlasan anak dalam menjalankan perintah orang tua. Keterpaksaan akan
menghasilkan hasil yang tidak maksiml atau mengecewakan. Hingga orang tua kesal
dengan kinerja anak dan akhirnya timbul umpatan pada diri anak yang menyebabkan
TUHAN marah dan berimplikasi keberkahan hidup sang anak dan bahkan anak menjadi
broken home tinggal bersama mereka yang perempatan jalan sambal mengamen.
Kehebatan seorang pemimpin dengan integritas yang dimiliki tidak jauh
dari Pendidikan awal di dalam rumah tangga yang harmonis sekaligus demokratis. Sikap
“jujur, peduli, tanggungjawab, kerja keras dan lain sebagainya” didapatkan
dari “Uswah” seorang ayah dan ibunda. Kelihatan sepele namun berat jika
kita lakukan di kehidupan ril ini. Banyak fakta dimana orang tua kurang sabar dan suka menghardik sang anak
manakala mereka berbuat nakal. Implikasi dari perbuatan seperti ini akan
mengimbas sisi psikologi anak menjadikan generasi mendatang kuraang berkualitas
dn cenderung melakukan hal-hal negtif jika dia menjadi pemimpin negara. Kekerasan
yang sering dia alami dalam berkehidupan rumah tangganya juga akan mewarnai
dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yaitu
ketidakadilan.
Oleh karena itu, dri sinilah momentum itu dimulai sejak dini, sejak
didalam asupan dan asuhan orang tua secara simultan dan berkesinambungan. Tentu
secara estafet Pendidikan karakter akan dilanjutkan di luar lingkungan dia
berada bersama yang lain. Melaluhi Pendidikan formal juga non formal (PONPES)
dasar dari apa yang sudah ditanamkan orang tua di lingkungan keluarga akan
tanpak hasil secara konkrit juga nyata dengan indikasi bersosialisasi dengan
rekan sejawatnya. Krisis kepemimpinan yang bertanggungjawab serta mempunyai
sikap peduli terhadap sesama merupkan rangkaian kegagalan Pendidikan orang tua
terhadap anak-anaknya denga selalu memberikan “USWAH” terhadapnya. Korupsi
adalah contoh kecil dari sekian banyak implikasi gagalnya Pendidikan informal
yang memang sangat urgent bagi setiap keluarga jika memang menginginkan negara
mencetak generasi emas yaitu generasi harapan semua orang, generasi yang “Rahmtan
Lil alamin”. Proyek besar yang harus dikerjakan dan dilakukan oleh Pusat
Pendidikan Antikorupsi dengan segala pendekatan yang holistic dan komprehensip
melaluhi program Pendidikan Keluraga Berintegritas. Sehingga orang tua
mendapatkan asupan gizi Pendidikan antikorupsi dan bagaimana cara mendidik anak
menjadi insan kamil yaitu insan baik dan bermartabat. Mendidik
secara hati Nurani dengan memandang anak sebagai manusia yang harus dilindungi
dan dijaga. Menggunakan metodologi uswah bukan perintah yang akan
menimbulkan distorsi akhlakul karimah anak juga orang tua di lingkungan
keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar