General WI Saiful Arif |
Tata kehidupan internasional dalam era globalisasi ini bagaikan lautan merah, penuh darah, ikan-ikan besar dan ganas berebut memakan ikan-ikan lain yang lemah, dan saling berkelahi di antara mereka. Perebutan minyak sebagai energi kunci untuk mengeruk kekayaan dan memperbesar kekuasaan semakin keras. Bertambah besar mereka menguasai minyak dan semakin kokoh kekuasaan yang berhasil ditanarnkannya untuk menguasai negara dunia ketiga, mereka semakin serakab. Dengan menggunakan pendekatan militer dan pengeroposan ekonomi melalui kucuran bantuan dan. pinjaman, serta menghalalkan semua cara. Terbukti mereka semakin banyak dan cepat memperoleh kekayaan dan kekuasaan, namun juga semakin besar pula kebutuhan akan minyak.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali kita harus memutus lingkaran setan dimaksud sebelum terlambat. Kita harus mengakhiri paradigma dan pendekatan dengan kekuatan militer dan pengeroposan ekonomi dari dalam, false philanthropic (belas kasih kemanusian palsu) dan menggantinya dengan pendekatan keilmuan dan kernanusiaan, sesuai dengan jalan Tuhan, untuk apa sernua ini diciptakan oleh-Nya? Tugas dan tanggung jawab manusia di dunia ini adalah untuk mengemban amanah-Nya. Untuk itu buku ini akan menawarkan konsep pendekatan baru tersebut dengan jalan membangun Sistem Pendidikan Nasional Visioner (SPNV). Meminjam istilah James C. Collins dan Jerry 1. Porras, built to last, membangun sistern pendidikan terakhir.
GLOBALISASI
Istilah globalution merupakan bagian tidak terpisahkan dari istilah globalisasi. Globalisasi memunyai kecenderungan kuat menyeragamkan sistem kehiduapan dunia. Dinamika penyeragaman sistem kehidupan internasional berkembang semakin cepat dan marttap. Hal itu tampak, misalnya, dari makanan cepat-saji seperti hamburger, fried chicken, pizza, juga pakaian, seperti celana jeans, dan gaya-gaya kehidupan lainnya. Tak pelak lagi upaya menyeragamkan kehidupan internasional itu berhadapan dengan keragaman budaya kehidupan nasional dari negara-negara yang dilaluinya.
Paradoks kehidupan dalam globalisasi sering terjadi secara mencengangkan. Dalam hitungan jam, menit, bahkan detik, sesuatu dapat berubah. Dari baik dan bermanfaat menjadi tidak baik, tidak berguna, dan kemudian ditinggalkan. Hal-hal yang profan dan sakral dapat hadir berdampingan di tempat yang sama dan dalam waktu yang sama. 5eseorang bisa saja menampilkan diri sebagai orang yang saleh, sekaligus sebagai pecundang.
Paradoks globalisasi atau globalution dilukiskan dengan cantik oleh Thomas Fredman sebagai "suatu kawanan" yang sedang memasuki kota. Bagaikan Lone Ranger dengan memberondongkan senapan menuntut ditegakkannya hukum keadilan. Di hari berikutnya ia menghentakkan kaki bagai kingkong yang melibas setiap orang yang dilaluhinya.
Setiap negara menyadari sepenuhnya, termasuk negara-negara debitor, jika tidak ingin ketinggalan zaman dan hidup t erisolasi, mereka harus mampu membebaskan diri dari utang dan ketergantungannya pada negara kreditor. Kemudian mereka harus mampu bermain dalarn pasar global dengan mengikuti peraturan permainan yang telah ditetapkan bersama. Namun dalarn kenyataannya, pasar global didominasi oleh kelompok 15%, yaitu kelompok innovators atau shapers, yakni pembentuk tatanan baru kehidupan dunia
Posisi negara-negara kreditor sangat kuat, bahkan terlalu kuat, jika dibandingkan dengan negara-negara debitor. Dari sini, muncullah istilah globalution yang oleh Fredman diterjemahkan menjadi revolutionfrom beyond. Sebuah revolusi yang berada di luar kernampuan negara-negara untuk memutuskan lilitan utang dan mengakhiri belenggu ketergantungan. Hampir semua negara di Asia yang tergolong Itu technological adopters, lebih-lebih yang tergolong technologically excluded seperti yang dipetakan oleh Jeffrey Sachs di muka, mengalami krisis ekonomi bagai terinjak "kaki kingkong" secara tiba-tiba. Hal ini juga disebabkan oleh budaya merek.a yang masih terlena dengan pandangan hidup lama. Tentang ini, Michael Mandelbaurn dari,Universitas John Hopkins menyatakan bahwa kita masih membayangkan revolusi-revolusi tahun 1776, 1789, 1819 dengan pandangan-pandangan hidup seperti sebelum jatuhnya Tembok Berlin, vaitu. era globalisasi Perang Dingin. Padahal kini kita hidup dalam dunia yang benar-benar tanpa batas. Masa krisis ekonominya juga berdurasi berbeda-beda pula. Beberapa negara Asia, seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan, tampak sudah mampu mengakhiri masa krisisnya. Bahkan China saat ini bagaikan raksasa yang sedang bangkit dari tidurnya. China sedang menunjukan gejala akan menguasai ekonomi dunia.
Untuk menyambut revolution from beyond tersebut tentu dibutuhkan strategi yang akurat. Misalnya, pemberantasan KKN secara menyeluruh, mengembangkan pernerintahan yang bersih (clean goverment), menumbuhkan budaya kerja dengan disiplin yang tinggi, menggunakan sistem kerja meritocracy, yaitu menghargai nilai kerja sesuai dengan jasa keahlian dengan ukuran objektif, menerapkan prinsip informasi komunikasi yang terbuka (transparancy), menggunakan standar mutu internasional, baik dalam mutu barang-barang maupun mutu pelayanan, terutama terhadap investor, baik asing maupun dalarn negeri. Selain itu, kebebasan media atau pers, mengembangkan pasar modal, obligasi dan saham, serta demokratisasi dalam sernua aspek kehidupan, dan yang paling penting adalah tegaknya hukum dan keadilan.
Namun, strategi tersebut tidak akan mampu mencapai sasarannya tanpa adanya kepernimpinan yang memunyai pandangan kenegaraan yang luas, memiliki wawasan kemanusiaan jauh ke depan, kejujuran dan sernangat ke~a yang pantang redu'p, clan selalu memikirkan semangat nasionalisme dalarn bingkai kehidupan globalisasi.
Strategi tersebut menciptakan rasa aman para investor. Sebab mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan mendapat keuntungan jika negara tempat mereka menanarnkan modal dan berbisnis ticlak aman, tidak jujur, ticlak memiliki standar akuntansi internasional.
sumber : Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Prof.Dr.M.Mastuhun, M.Ed
0 komentar:
Posting Komentar