KESABARAN
Yang
Teruji
Angin
telah membawa sebagian kabut di sisi kiri bukit Penanggungan menuju sebuah desa
yang terpencil. Suasana begitu tenang, sejuk dan ramah penduduknya. Tanpak
terlihat seorang lelaki tua sedang memikul cangkul di pundak sebelah kiri
menuju ladang di kaki bukit itu. Seusai menyelesaikan sarapan pagi yang biasa
disiapkan sang istri tercinta, dia pun bergegas menuju tempat dia bekerja
seperti biasa. Dia adalah Pak Ahmad penduduk desa itu yang umurnya sudah 65
tahun.
Dia
dikaruniai dua orang anak yaitu laki-laki dan perempuan yang diberi nama
Purnama dan Aminah. Keduanya kini telah besar dan menikah 6 tahun yang silam
putra pertamanya yaitu Purnama. Sementara adiknya juga telah menikah pula
sekitar 4 tahun dan tinggal bersama suaminya di sebuah perantauan di luar
pulau. Sang ayah yang tiap harinya bekerja di ladang menanam umbi-umbian
seperti singkong, ketela rambat, jagung dan kacang-kacangan. Semua itu
digunakan untuk keperluan hidup mereka, karena dia tahu jika penopang hidupnya
adalah ladang tersebut yang selama ini dia garap untuk memenuhi kebutuhan
bersama istri tercintanya. Pak Ahmad yang telah menikah dengan seorang perempuan
bernama Khodijah. Pernikahannya berjalan harmonis seiring waktu memberikan
gambaran dalam perjalanan hidupnya yang keras dan penuh tantangan. Namun Pak
Ahmad dan bu khotijah tidak pernah menyerah dengan keadaan yang dialaminya.
Pernah
suatu saat mereka ditimpa sebuah persoalan tentang biaya pendidikan kedua
anaknya. Saat itu anak-anaknya memasuki sekolah setingkat SMA dan SMP. Sang kakak
laki-laki saat itu kelas 11 di sebuah SMA Negeri, sementara adiknya sekolah
kelas 3 di sebuah sekolah madrasah tsanawiyah atau MTS. Waktu pembayaran
administrasi sekolah mereka meminta uang kepada ayahnya untuk menyelesaikan
pembayaran uang ujian di masing-masing sekolahan mereka. Namun saat itu Pak
Ahmad betul-betul tidak mempunyai uang dan memang hasil dari kebunnya tidak
begitu menjanjikan hanya sebatas untuk bisa dimakan. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut pak Ahmad dan bu Khodijah telah pergi ke beberapa rumah saudara atau
teman-temannya untuk sedikit meminjam uang yang dia perlukan untuk pembayaran
sekolah anak-anaknya. Namun mereka tidak menemukan satu jalan keluar dari apa
yang mereka harapkan saat itu. Pak Ahmad pun tampak murung dan bersedih karena
harus menanggung dua beban yaitu beban untuk mencarikan biaya anak-anaknya untuk
bisa ikut ujian dan beban yang lainnya yaitu harus menjaga perasaan kedua
anaknya agar tetap semangat belajar di sekolahannya. Namun jalan itu pun
dilalui dengan terjal penuh liku-liku dan menguji kesabaran dari kedua orang
tua tersebut. Pada akhirnya Pak Ahmad pun menemukan jalan keluar mendapatkan
rezeki dari orang baik hati untuk sedikit meminjamkan uangnya agar bisa
memenuhi kebutuhan anaknya yaitu membayar biaya sekolah.
*=========*
Dalam
perjalanan Pak Ahmad menuju ladang sambil dia memikul sebuah cangkul,
diselipkan di pinggangnya sebuah sabit yang cukup tajam yang digunakan untuk
membersihkan rumput di sekitar tanaman-tanaman yang selama ini dia tanam di
kebunnya. Tentu agar tanaman tersebut menjadi subur dan bebas dari gulma.
Karena memang tanaman dikebunnya adalah satu-satunya harapan hidup dari Pak
Ahmad dan Khodijah. Sesampai di ladang Pak Ahmad pun seperti biasa mulai
mengecek irigasi saluran-saluran air yang mungkin sedikit terhambat oleh
sampah-sampah yang mungkin menyumbat di saluran. Dengan posisi jongkok Pak Ahmad
pun mulai sedikit demi sedikit membersihkan termasuk rumput-rumput yang ada. Tampak
muka yang keriput itu menunjukkan betapa beratnya beban yang dialami oleh Pak
Ahmad selama ini. Namun dia tak pernah bercerita kepada anak-anaknya tentang
beban hidup yang selama ini dialami. Ayah itu hanya menginginkan bahwa
anak-anaknya bisa bahagia di tempat lain bersama keluarganya. Walaupun Pak
Ahmad terkadang juga agak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup
terutama untuk kebutuhan makan sehari-hari. Kebutuhan bahan pokok yang selama
ini Pak Ahmad peroleh dengan susah payah merupakan bagian dari beban hidup yang
dialaminya. Namun bu Khotijah tetap memberikan semangat kepada suaminya untuk
tetap bersabar dan bersabar dalam menghadapi setiap cobaan. Mereka yakin bahwa
dibalik kesusahan pasti ada kemudahan.
Hari
semakin siang tubuh Pak Ahmad diguyur dengan keringat membasahi di pundak dan
wajahnya. Sesekali dia mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat dengan desahan
nafas yang sedikit sesak di dadanya. Menandakan bahwa betapa lelahnya dia dalam
bekerja hari ini. Langkahnya segera menuju ke sebuah pohon rindang di ladangnya
untuk sedikit duduk melepaskan lelah yang penat di pundaknya. Sambil meraih
botol air mineral kecil Pak Ahmad pun meneguk air beberapa tegukan untuk
menghilangkan dahaga. Dalam duduknya, dia pun melamun tentang bagaimana nasib
hidupnya selanjutnya. Karena dia yakin bahwa apa yang selama ini dia lakukan
masih belum maksimal dalam menopang kehidupannya sehari-hari bersama istrinya. Tanpa
terasa matahari sudah hampir di atas kepala. Pak Ahmad merasa lelah dan ingin
mengakhiri pekerjaan di ladangnya hari itu. Alhamdulillah tanaman yang ditanam
Pak Ahmad terasa lebih subur karena ketekunan dia serta kerja kerasnya selama
ini dalam merawat tanaman-tanaman di dalam hati Pak Ahmad berkata semoga
tanaman ini bisa menjadi penumpang hidup kebunnya.
“Satu
bulan kedepannya paling tidak bisa aku jual untuk sedikit mendapatkan uang yang
bisa dibelikan keperluan bahan pokok”, gumamnya dalam hati.
Dengan
langkah yang gontai Pak Ahmad mulai membersihkan cangkul di Parit yang ada di
sebelah ladangnya. Sesaat kemudian pak Ahmad pun mulai meninggalkan ladang dan
menuju rumahnya. Sesampai di depan rumahnya Pak Ahmad lalu menuju ke samping
rumah untuk menaruh cangkul dan sabitnya. Sesaat dia memutar gagang pintu, pintu
pun terbuka dan pak Ahmad pengucapan salam kepada istrinya yang sedang duduk di
pinggir tungku masak,
“Assalamualaikum!!!”
Sang
istri pun menjawab
“Waalaikumsalam!!!”
sahutnya.
“Sedang
apa bu” kata Pak Ahmad
Bu
Khotijah pun menjawab, “ masak umbi dan ketela!!!, emangnya bapak baru
sampai?? lanjut ke Khodijah
“Iya
bu, ini saya baru sampai .Alhamdulillah tadi tanaman di ladang cukup bagus dan
insya Allah bisa kita jual nanti sisanya untuk membeli beras dan keperluan yang
lainnya semoga tiga bulan lagi kita bisa menikmati hasil panen di ladang kita”.
Dia
pun melangkah ke kamar mandi. Setelah mencuci kaki dan tangan lalu dia duduk di
sebelah istrinya sambil melamun dan menatap langit-langit rumah yang sudah
mulai retak di sana-sini saya.
“Sebenarnya
saya kepikiran bu tentang rumah kita ini” kata Pak Ahmad memelasnya.
Memangnya kenapa Pak rumah kita? lanjut
bu Khatijah.
“Bukankah
kita tahu jika rumah ini sudah tua dan memang harus sudah diganti sementara.
Tapi masalahnya kita nggak punya cukup uang untuk menggantinya atau merenovasi” lanjut
pak Ahmad.
“Ya
Bersabarlah Pak!!! memang keadaan kita demikian? mau bagaimana lagi. Kita sudah
berupaya sama-sama agar kita bisa mendapatkan hidup yang lebih baik dan layak,
tapi Allah masih belum mengizinkan kita diberikan hidup yang layak. Kita patut
bersyukur tentang apa yang diberikan Allah” jelas bu Khatijah
kepada Pak Ahmad.
sambil
mendesah dengan kerasnya pak Ahmad berusaha untuk menyeruput kopi yang telah
disiapkan oleh istrinya.
“Srre...eepp…sreepppp…
enak sekali kopinya bu!!!” kata Pak Ahmad sambil tersenyum.
Khatijah
pun tersenyum di balik kesedihan yang selama ini dia pendam. Harapan memang
sangat besar sekali bagi keluarga ini untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah
melalui bantuan-bantuan sosial yang lainnya. Selama ini Pak Ahmad tidak pernah
mendapatkan bantuan apa pun. Padahal dia termasuk golongan orang-orang yang
miskin. Pendataan peserta bansos yang dilakukan oleh perangkat-perangkat desa
setempat memang kurang menunjukkan rasa keadilan. Data-data yang diberikan
kepada pemerintah tentang orang-orang yang layak mendapat bantuan tidak tepat
sasaran. Justru sebaliknya, nama-nama yang mendapatkan adalah orang-orang dekat
atau teman-teman akrab dan bagian keluarganya saja. Secara ekonomi Pak Ahmad
ini memang perlu mendapatkan bantuan, dan itu memang harus karena kehidupannya
hanya mengandalkan hasil kebun. Luasnya hanya Sepetak dimiliki selama hidupnya.
Walaupun begitu keluarga ini adalah orang-orang hebat. Dia selama ini tidak
mendapatkan bantuan, tetapi sanggup mensekolahkan anak-anaknya hingga lulus SMA.
kedua-duanya mereka sekarang ikut keluarganya masing-masing dan bisa bekerja
lebih baik daripada orang tuanya.
*===============*
Tak
lama kemudian Pak Ahmad mendengar suara adzan dari masjid desa sebelah. Menandakan
bahwa waktu dzuhur sudah masuk. Segera beranjak ke kamar mandi untuk
membersihkan diri dan segera pergi ke mushola di belakang rumah Pak Ahmad.
“Bu
saya mau mandi dulu dan shalat ke mushala” kata Pak Ahmad
kepada istrinya..
Iya
Pak silakan!!! Ibu selesaikan dulu masaknya hari ini nanti setelah selesai shalat
bapak silakan makan umbi-umbian sama minum kopinya. Alhamdulillah Pak Hari ini
kita hanya bisa makan ketela dan umbi-umbian saja. Ini yang bisa saya berikan
kepada bapak hari ini”.
“Tidak
apa-apa Bu, itu kita sudah bersyukur tentang rezeki yang diberikan Allah hari
ini. Makan umbi-umbian itu juga baik untuk kesehatan dan karbohidratnya ada
walaupun proteinnya pun tidak begitu banyak. Tetapi bagi kita orang-orang
miskin ini!!! yang penting adalah perut kita terisi oleh makanan walaupun itu hanya
sekedar umbi saja” terang Pak Ahmad kepada istrinya.
Sementara itu bu Khatijah pun termanggut-manggut
mendengar penjelasan suaminya. Dalam hatinya dia berkata, betapa senangnya dia
mendapatkan sosok seorang suami dan sosok seorang pemimpin yang begitu sabar,
pengertian dan begitu taat menjalankan ibadah-ibadah yang selama ini dia
lakukan. Sesaat pak Ahmad setelah mandi dan memakai baju yang bersih dia pun
berangkat ke mushala. Tanpa menunggu lama Pak Ahmad pun melantunkan sebuah
adzannya untuk memanggil para masyarakat agar bersama-sama melakukan shalat. Tidak
lama kemudian sang istri menyusul ke mushala. Pak Ahmad pun mengakhiri dengan
iqomahnya dan segera melakukan shalat berjamaah dengan warga lainnya. Tanpak
terlihat hanya 4 warga saja yang datang ditambah bu Khadijah dan dua warga
lainnya.
Sesaat
shalat dipimpin oleh seorang Ustadz di kampung itu berjamaah. Sesaat kemudian shalat berjamaah telah selesai
dilakukan dan Pak Ahmad segera menuju rumah bersama istrinya. Sambil duduk di
sebuah amben yang ada tikarnya berwarna putih, duduk bersila dan mulai
menyantap singkong dan umbi-umbian yang telah disediakan oleh istrinya. Rupanya
singkong dan umbi itu sudah mulai dingin karena memang selama pak Ahmad shalat
berjamaah, makanan itu sebenarnya sudah selesai disajikan di atas amben. Pak
Ahmad dan Bu Fatimah dengan lahap menyantap singkong dan umnian lainnya. Sambil
bercengkrama kesana kemari mereka bercerita tentang ladang tadi. Sementara sang
istri pun bercerita tentang bagaimana tetangganya tadi ada yang bertengkar
masalah kenakalan anak-anaknya. Tanpa disadari mereka pun tertawa Sedikit keras,
sehingga suasana ruangan itu menjadi gemuruh dengan suara mereka bersama-sama. Tentu
tertawa mereka adalah tertawa yang terkekeh karena usia mereka sudah di atas 60
tahun.
Pak
Ahmad pun beranjak ke sebuah tempat tidur yang sangat sederhana di atas lantai
hanya ada kasur tipis beralas dengan kain kusam. Dia mulai merebahkan tubuhnya
sambil memejamkan matanya seolah memimpikan sebuah perubahan hidup suatu saat
di akhir usianya. Sambil berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dia
pun Tak lama kemudian lelap dalam kelelahan dan keheningan. Ada perasaan yang
mengganjal di dalam hati Khadijahdia. Merasa ibah dan kasihan melihat suaminya
yang begitu bekerja keras dengan kondisi yang tua rentah selama ini. Namun mereka tidak pernah sambat atau bercerita
kepada anak-anaknya, walaupun mereka sering mengalami kesulitan. Dia tertidur
lelap dan terus bermimpi tentang keindahan masa-masa yang akan datang bersama
istrinya.
Walaupun
dia adalah orang miskin tapi dia tidak pernah berkeluh kesah kepada sang maha
Pencipta. Inilah sebenarnya bentuk kesabaran yang secara totalitas yang harus
ditunjukkan oleh setiap manusia di muka bumi ini. Bukan menghujat sebuah
kegelapan tetapi berupaya untuk menyalakan sebuah lilin kecil agar kegelapan
itu menjadi hilang. Bukan menghujat bagaimana nasib ini, tetapi bagaimana
menjalaninya dengan penuh kesabaran. Perilaku yang dimilik dan bu Khadijah pun
cukup baik di mata Masyarakat. Mereka terkenal orang pendiam dan santun, tidak
pernah berbuat neko-neko atau yang macam-macam. Oleh karena itu keluarga ini
tetap diberikan kebahagiaan dan keteduhan dalam hidupnya walaupun di dalam
lingkaran kekurangan ekonomi. Tetapi besarnya semangat hidup mereka dan kesabaran
yang dimiliki untuk menghadapi cobaan hidup itu adalah bentuk manifest secara
nyata.
Semoga
cerita ini menginspirasi bagi kita terutama para pejabat yang betul-betul
memperhatikan penderitaan orang-orang miskin seperti Pak Ahmad dan bu Khatijah.
Walaupun cerita ini hanyalah sebuah fiktif belaka, tetapi saya yakin cerita ini
adalah bentuk riil yang ada di masyarakat kita selama ini. Bagi kita yang
diberikan kenikmatan hidup oleh Allah SWT, marilah bersama-sama bersyukur agar
apa yang diberikan-Nya menjadi barokah dan bisa memberikan manfaat bagi orang
lain. Terima kasih dan sampai berjumpa lagi.
**============**
0 komentar:
Posting Komentar