Berikan Pendapat Anda tentang WI Berikan komentar positif dan santun demi pengembangan konten yang lebih menarik serta lebih faktual dengan berita ilmu yang bermanfaat bagi kita semua pada tahap selanjutnya, untuk partisipasi anda semua saya ucapkan Terimakasih

INSPIRASI : SANG JENDERALKU

SANG JENDERALKU
Penulis : SAIFUL ARIF


Saya menjadi teringat ketika seorang pakar Pendidikan sekaligus kurikulum yaitu master Zulkifli pernah bilang, “Jadilah gurunya manusia dan buatlah sekolahnya manusia”. Lho, memangnya saya selama ini tidak menjadi gurunya manusia? Gumam hati saya. Ternyata setelah saya telitik dan kaji secara mendalam cara mengajar danmemberi pembelajaran kepada siswa bukanlah cara kita yang mengajarkan ilmu kepada manusia. Pepatah jawa mengatahkan “Nguwong no, manunggso” (memanusikan manusia). Sungguh luar biasa kalimat yang singkat dan pendek, tetapi mempunyai makna arti yang begitu luas.
Tidak gampang kita memposisikan diri lebih hina daripada orang lain dan juga tidak mudah mengakui kelebihan orang lain. Namun, yang ada hanyalah merasa diri lebih mulia, hebat, serba bisa dibanding orang lain. Sikap sekeptis yang akhirnya meeka ciptakan pada pribadi orang lain seperti ini akan sangat mungkin terjadi dan semakin merenggangnya sikap toleransi, kegotongroyongan juga saling menghormati semakin pudar. Oleh karena itu saya sangat sepakat jika filsafat jawa yang memanusiakan manusia adalah sebuah keniscayaan yang memang harus kita jalankan untuk mencapai keharmonisasian hidup juga berkehidupan. Situasi seperti sekaraang ini telah menjadikan sendi-sendi kehidupan menjadi blok-blok tertentu yang mirip dengan pembagian blok perumahan. Terkadang tanpa disadari sedikitpun oleh seorang pemimpin yang telah memberikan coretan kebijakan mereka yang semakinmemperkuat an memperburuk suasana hubungan antar sesama juga anatar manusia.
Koe iki sopo?  Dalam pikirannya yang merasa bukan menjadi manusia lagi. Semakin menjauhnya rasa peduli terhadap sesuatu yang menjadi milik bersama dan harus dirawat secara bersama-sama pula, namuun semakin pudar dan merenggang. Sikap cari  muka teradap atasan, ini pun juga faktor dominan yang menjadikan bawahan semakin menjauh dari kata memiliki. Memang bukan urusan kita tentang sikap dan niat hai sesame manusia, karena itu hak prerogatifnya Allah SWT. Tetapi jika kita pahami indikasi dan prilaku juga raut wajahnya, mungkin kita masih bisa membaca. Namun, untuk menentukan sikap dan jawaban dari apa yang kita lihat untk dibuat kesimpulan adalah bukan hak kita.


 Menjadi pemimpin yang adil tidak akan melupakan tentang pembelajaran yang “Memanusiakan Manusia”. Karena ini sangatlah penting dalam melandasi niat dalam beribadah terutama menjadi seorang pemimpin yang adil juga bijaksana. Ambisi menjadi pemimpin akan mempengaruhi semua kebijakan yang akan selalu dia keluarkan. Ambisi inipun juga akan menjadikan boomerang dirinya sendiri dan sekaligus bisa menghaancurkan Lembaga, organisasi atau instansi yang dia pimpin ke depannya. Oleh karena itu saya juga sepakat dengan kalimat “Seseorang itu dikatakan hebat jika sudah teruji dan dikatakan bijak jika sudah terukur kesabaranya”. Terkadng saya juga melihat bahkan sangat sering dalam membuat sebuah lingkungan kepemimpinan seperti layaknya permaina boneka. Kelompok structural tidak ubahnya seperti mainan anak-anak yang bisa disetel sesuai dengan keinginan mereka. Menempatkan seorang untuk mengampuh tugas dan kewajiban tnpa melihat kemampun yang dimiliki masing-masing pribadi tersebut. Hal ini jelas agar control kebijkan yang “DIA” buat tidak terbantahkan walaupun melanggar aturan Negara. Anehnya, yang dijadikannya tersebut mau dan tak menolak sedikitpun walau merasa dirinya tak mampu. Akhirnya apa yang terjadi, “ANCUR” dan hanya hiasan structural saja di dinding kantor Lembaga atau Yayasan.
Jangan menjadi pemimpin yang tidak mau mengakui kelebihan anak buah. Sebab dengan keberagaman kemampuan dri anak buah justeru akan menjadikankekuatan tersendiri dalam mencapai sebuah GOAL dari Lembaga tersebut, jika kita inventarisir secara baik dan benar. Seorang jendral yang akan menghadapi situasi perang, tentu akan pasang strategi dan juga pasukan siapa yang akan menepati posisi penting tersebut. Akan sangat “TIDAK MUNGKIN JUGA MUSTAHIL” dalam keadadaan berbagai situasi perang akan menempatkan orang-orang yang sama juga. Ini sebuah bentu kekonyolan dan akan menyebabkan kehancuran di medan peperangan. Setiap prajurit mempunyi kelebihan tersendiri dalam pertarungan dimedan peperangan. Mental sekaligus kelebihannya tersebut yang akan menentukan posisi apa yang akan di emban sebagai bentuk tugas dan amanahnya. Namun, jika situasi ini kita analogikan dalam lingkungan Lembaga Pendidikan tentu sangat banyak kita jumpai. Menjadikan orang-orang tertentu yang mood dalam hatinya saja yang akan diajak kerja sama untuk membuat sebuah kebijakan dalam menentukan hajat hidup orang banyak. Sikap skeptis demikianlah yang saya sangat khawatirkan akan membuat jurang pemisah antar pengelolah  Lembaga terebut. Semua event atau kegiatan hanya melibatkan orang-orang itu-itu saja walaupun “TIDAK KOMPETEN DAN INDISIPLINER”, namun masih dalam bingkai hati yang senang dan adalah sahabat mereka. Subhanalloh, tentu yang menjadi korban adalah siswa juga masyarakat.
Sikap professional seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk mengupayakan sebuah kebijakannya akan bermanfaat bagi semua orang termasuk para bawahan. Bukan ketawa-ketiwi seperti orang yang tiada berdosa dan merasa diri paling benar dan hebat! Tetapi justeru banyak mereka yang tersakiti dan merasa jijik terhadap sikap dia. Jika semua dasar kerja dan mengemban amnah atas dasar kepentingan pribadi dengan tujuan mencari sensasi dan juga rupiah! Tentu sikap seperti ini bukanlah sikap yang “PROFESIONAL”. Akan retak dan runtuh manakala diasdah mencapainya dan terukupi secara psikolisnya. Saya masih ingat ketika menjabat sebagai wakur dan BP di sebuah Lembaga Pendidikan tahun 2011 yang lalu. Waktu itu datang seorang guru senior yang menegur saya dan juga kepala madrsah waktu itu, karena saya doble jabatan (Wakur dan BP). Alasannya karena tidak maksimal dan takut tidak terselesaikan dengan amanah. Kami pun sepakat waktu itu dan mau menerima pendapatnya, karena memang kami sebagai tim pengelolah masih belum menemuukan orang yang tepat untuk menemati kedudukan jabatan tersebut. Tetapi sekarang ini tahun 2012 sampai sekarang justeru suara “LANTANG DAN PENUH KRITIKAN” tersebut menjdi sumbang dan degradasi oleh sebuah kepentingan juga tujuan. Saya melihat di Lembaga tersebut masih banyak orang yang menempati doble jabatan bahkan triple jabatan, namun suara kritikan pada orang tersebut tidak ada lagi, samar dan pada akhirnya hilang tipis dan tiada bekas. WOW…, keras seperti krupuk jika terkena air hancur sudah. Ternyata suaramu tak sehebat nyalimu teman! Hanya sebatas rasa iri dengki juga frustasi jenjang karier orang lain.
Sikap yang didasari kepentingan ini yang isa menghancurkan roda perjalanan dan kesusksesan Lembaga Pendidikan kita. Kesuksesan Pendidikan tidak hanya diukur oleh banyak sedikitnya siswa, namun sebera banyak prestasi yang diraih oleh keluarga Lembaga tersebut baik siswa, guru, kepala lemabaga juga pegawai tenaga kependidikannya. Untuk mengahsilkan hasil bumi yang baik dan melimpah, bukan hanya faktor luas dan sempitnya lahan, tetapi yang sangat dominan adalah faktor petani dan penggarapnya. Mau bekerja keras dan professional tanpau kenal Lelah dalam mengelolah tanah sawahnya. Faktor inilah yang akan sangat sekali menjadi penentu hasil yang memuaskan. Tergantung sang jendral dalam melakukan strategi perang untuk melumpuhkan lawan musuhnya.
Tidak jarang kita lihat Lembaga Pendidikan yang mempunyai siswa terbatas juga lahan yang sempit, tapi dikelola dengan cara yang professional dan baik selalu mendapatkan ranking dan juara memuaskan. Masyarakat berbondong-bondong untuk mmengantarkan putra dan putrinya untuk mengaji dan belajar bersama-sama dengan lembaga tersebut. Kepercayaan yang timbul dalam masyarakat bukanlah kepercayaan yang “kaleng-kaleng”.  Orang tidak mau kerja dan menjalankan tugas mungkin ada beberapa faktor yang mempengaruhinya (1) tidak mampu, (2) tidak pernah diberikan kesempatan, (3) tidak disukai, (4) takut kalah bersaing. Jika dia adalah sang jendral arif dan bijaksana tentu keempat faktor tersebut bukan menjadikan kendala. Bagaimanapun seorang petani tidak boleh menghina dan meremehkan sekaligus tidak meras butuh terhadap “KOTORAN SAPI DAN KAMBING”. Seorang petani unggul akan melihat kotoran tersebut sebagai manifest untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tanamannya walupun bau busuk dan tidak nyaman.
Jadikan diri seperti JENDRAL dalam melakukan strategi perang yang professional dalam mencapai sebuah tujuan. Jadikan anak buah sebagai bahan rujukan sekaligus manifest dari sebuah artefak di masing-masing medan peperangan. Jangan butakan mata sang jenderal dengan rasa iri, meri juga degaki dengan kelebihan prajurit lain untuk menempati posisi eksekusi di medan perang. Lakukalah perombakan mental juga cabinet untuk memberikan suasana nyaman dan berkeadilan seperti perspektif seorang petani terhadap kotoran sapi dan kambing tersebut. Memang paling susah melihat juga mengakui kelebihan dan kehebatan orang lain yang tidak kita miliki dengan memberikan nilai jempol pada dirinya. Seorang jenderal tidak hanya dilihat dari jumlah bintang dipundaknya, tetapi “MAMPU MEMPERTANGGUNGJAWABKAN JUMLAH BINTANG YANG DIMILIKINYA”. Analoginya adalah tidak hanya dilihat gelar dan title saja guru itu profesiona. Terkadang dengan title yang tinggi, namun kineja sangat amburadul dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sampai detik ini, saya masih merindukan “SANG JENDERAL YANG BIJAKSANA, BUKAN HANYA JENDERAL YANG BIJAK SINI SAJA”. Datanglah wahai pemimpinKU “Bung Hatta juga bapak Soegeng” dalam mengispirasi kita.

#salamantikorupsi
#gurumenginspirasi

0 komentar:

Posting Komentar