SUPLEMEN HATI DAN LOGIKAKU
(Refleksi
Acara Webinar
Pencegahan dan Pengelolaan Konflik Kepentingan)
Penulis
: SAIFUL ARIF
Mendengar paparan
tentang materi "Webinar Pencegahan dan Pengelolaan Konflik Kepentingan"
dari beberapa pakar hukum sekaligus penggerak antikorupsi diantaranya Francesco Checchi
-
UNODC Regional Anti-Corruption Adviser, Wahyu Dewantara Susilo - Spesialis
Litbang KPK, Danang Widoyoko - Sekertaris Jenderal Transparency
International Indonesia, Jufri Rahman - Plt Deputi Bidang
Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan, KemenpanRB. Sementara
moderator dari acara Webinar adalah Sujanarko - Direktur Pembinaan
Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) memberikan pemahaman
bagaimana carut marutnya masalah tersebut dinegeri ini. Ngeri sekaligus
prihatin kasus setiap kasus yang dicontohkan melaluhi presentasi beliau. Diantara
sekin banyak kasus konflik kepentingan yaitu staf khusus presiden tentang kasus
ruang guru lolos jadi mitra kartu prakerja tanpa tender.
Itu hanyalah contoh yang dikhawatirkan terjadi COI
yang akan semakin massive jika kita sebagai warga negara tidak melakukan control
secara ketat bekerjasama dengan berbagai penggerak antikorupsi. Pengetahuan seperti
ini yang digagas oleh KPK untuk mensosialisasikan tindakan korupsi kepada
dirjen-dirjen juga masyarakat memberikan sinyal elemen bahwa gerakan tersebut
harus dilakukan secara bersama-sama. Ketika business in politic mewabah bagai
covid 19 mewarnai konflik kepentingan dalam masa kampanye maka status quo suatu
saat akan menjadi raja di raja dimuka pertiwi. Karena para konglomerat yang
menguasai materi akan selalu menang dalam aksi kampanye yang ikuti. Tentu tujuannya
adalah ingin menyelamatkan bisnis yang dikelola dan bisa terselamatkan dengan
berbagai macam kebijakan yang dia keluarkan suatu saat ketika menjadi pejabat publik.
Realitas seperti ini memang sudah terjadi di negara kita dan agaknya sulit
untuk dilakukan tindakan karena banyak masyarakat yang terjebak dengan money
politic baik ditingkat pusat, daerah atau ditingkat Kota dan Desa.
Problem fundamental-nya adalah adanya (1) demokrasi
electoral dimana ongkos politik semakin mahal, (2) Partai politik tergantung
pada dana public (membuka celah melakukan tindakan korupsi bagi pejabat public yang
ingin mencalonkan kembali), (3) Plutokrasi merupakan problem uang menjadi
faktor penting dalam politik electoral. Kasus yang terjadi di pemerintahan juga
sering terjadi di Lembaga-lembaga Pendidikan yang ada sekarang ini. Mulai adanya
pemotongan bantuan sekolah atau madrasah oleh pejabat setempat dalam proses pengajuan
hingga pada tahap pencairan dana yang sudah tidak 100% lagi diterima. Fakta juga
realita, namun kita sebagai pemangku kepentingan tiada berdaya untuk melakukan
tindakan. Mungkin benar apa yang dikatakan J. Danang W dalam presentasi di "Webinar
Pencegahan dan Pengelolaan Konflik Kepentingan" bahwa harus lapor pada
siapa dan bagaimana cara melaporkannya jika kita menemukan maslah seperti ini. Yang
menjadi masalah pokok sekarang adalah keberanian kita sebagai abdi negara atau
masyarakat awam untuk mensikapi kecurangan-kecurangan tersebut. Masyarakat dalam
berpartisipasi sangat kecil sekali, sehingga mereka yang merupakan actor dari
kasus korupsi merasa bebas dan lepas dari segala pantuan masyarakat.
Regulasi konflik kepentingan
diantaranya adalah (1) UU No.31 tahun 1999 jo UU No. tentang Pemberantasan Korupsi mengatur soal
konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, (2) UU No. 7 tahun 2006
tentang ratifikasi UNCAC menganjurkan pemerintah mengatur konflik kepentingan,
(3) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.
37 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Penanganan Benturan
Kepentingan. Sangat jelas dan gambling sekali regulasi yang sudah
menjadi paying hukum di negeri ini. Namun mengapa COI masih terjadi bahkan
seperti bola salju yang menghantam dada dan jga ulu hati ibu pertiwi. Laode M.
syarif mengatakan pada sesi penutup bahwa dibutuhkan seorang pemimpin yang
mempunyi komitmen tinggi dalam memberantas tindakan COI tersebut. Bahkan beliau
berkata siapa pemimpinya sekarang?.
Konflik kepentingan ini
terjadi bisa dikaenakan adanya balas jasa, sikap sungkan kepada atasan atau
panutan seseorang. Maka jangan heran jika COI ini sudah mulai mewbah di
lingkungan pondok pesantren yang nota bene Lembaga yang independent dibangun
atas gotong royong warga dan juga swadaya masyarakat yang ingin membangun Lembaga
diniah yaitu Lembaga yang mengkaji ilmu agama. Namun, perkembangan zaman
sekarang menjadi sangat berbeda ketika ponpes di bantu tingkat perkembngannya
dengan berbagai sarana infrastruktur, disinlah mulai muncul tindakan korupsi. Laporan
demi laporan tidak transparan lagi dan danna hibah atau banyuan lain yang
seharusnya mengikuti aturan (template) dari pemerintah tidak dhiraukan Kembali.
Pemanfaatan anggara sebut saj BOS yang digunakan biaya operasinal sekolah
terkadang diambil Yayasan untuk digunakan pembangunan fisik madrasa bahkan mencapai
Rp. 50 JT, astagfirulloh. Rupanya agama sudah tak mampu lagi membendung
tindakan korupsi tersebut, bahkan bendahara juga kepala madrasah yang
mengetahuinya sudah tak berdaya lagi karena sifat sungkanisme atau juga bahkan
takut JABATANNYA di COPOT hingga dia tidak berani menegur yayasan karena adanya
konflik kepentingan. Dana pembelanjaan dari BOS akhir tahun seharus Rp. 0,
namun masih tersisa sekitar Rp. 100 JT an tetapi dilaporkan Rp. 0. Secara moral
bagaimana kita mempertanggungjawabkan di adminisrasi negara, namun juga di hadapan
tuhan semesta alam. Sebagai seorang yang mengerti bahkan memhami tentang agama
dengan berbagai macam dalil-dalil-NYA tentu ada rasa malu jika melakukan hal
demikian.
Penulis semakin memahami tentang
COI ini yang begitu kuatnya di negeri ini hingga tak mampu melepaskan dan hanya
diam kecut sambal menatap hampa tiada daya. Namun jiwa kecilku semakin
terpanggil untuk selalu memberikan yang terbaik kepada sang murid-murid
tercinta dengan Pendidikan karakter yang setiap hari penulis ajarkan untuk
menjadi pemimpin yang berintegritas. Harapan 20 th lagi masih ada dan itu yang
menjadi target utama penulis. Sampai detik ini saya tidak pernah bertanya
tentang hasil apa yang saya dapatkan kelak, tetapi proses terbaik apa yang saya
berikan pada peentuan hasil tersebut. Sebab penulis juga sadar bahwa “PROSES
TIDAK AKAN MENGKHIANATI HASIL”.
Diperlukan
adanya sistim pengatur konflik kepentingan (COI) ini diantaranya :
- Akar persoalan, semakin banyak pebisnis yang menjadi politisi. Perlu memperkuat regulasi pendanaan politik dan rekrutmen politik.
- Politisi masuk ke politik untuk mempertahankan kekayaan. Hukum belum memberikan jaminan bagi mereka sehingga merasa perlu menjadi bagian dalam pembuatan dan pengaturan kebijakan publik.
- Memperkuat institusi pemberantasan korupsi untuk mencegah konflik kepentingan terutma di Lembaga-lembaga Pendidikan yang relegius
- Dalam jangka panjang, pengaturan konflik kepentingan menjadi bagian dari mendorong independensi dan kredibilitas institusi peradilan.
Indonesia sudah cukup
punya aturan tentang konflik kepeningan, namun masih belum cukup mampu
melakukan pencegahan dan kita kembalikan lagi Siapa yang memimpinnya?. Tdak perlu
membut turan baru untuk mencegah konflik kepentingan tersebut, namun memaksimalkan
Kembali aturan yang sudah ada dengan benar-benar berintegritas demi masa depan
negara. Lihatlah toko-tokoh di negara kita yang laur biada seperti Bapak Moh.
Hatta dengan kasus alat jahitnyya juga bapak Hoegeng dengan pemberian hadiah
yang dikembalikan. Jika beliau bisa dan mampu, mengapa kita TIDAK BISA! Silahkan
raba hati Nurani kita sendiri.
Agar saya tidak terjebak,
saya tempatkan hati dan logika dalam satu garis yang lurus secara suplemen untuk
mencegah CONFLIC OF INTEREST (COI) agar tidak terjadi benturan suatu
saat. Pembelajaran demi pembelajaran yang diberikan oleh pusat edukasi
antikorupsi telah membawa dampak perubahan psikologi untuk tidak sekali-kali
berbuat ke tindakan korupsi dalam bentuk apapun itu. Menajarkan Gerakan menadi
manusia yang “Rahmatan lil Alamin” dalam keluarga juga ke siswa agar
menjadi uswah dalam menapak jalan menuju integritas sempurna.
0 komentar:
Posting Komentar