Makna Kejeniusan Anak Manusia
Zulfikri Anas
Terdapat jutaan, milyaran, trilyunan, dan bahkan tanpa batas jenis kejeniusan yang diperuntukkan bagi manusia oleh Allah Swt. Setiap kejeniusan itu bersifat unik, tak tergantikan, serta tidak dapat dibandingkan antara satu dengan yang lain, apalagi dirangking atau digradasikan. Sampai kapanpun, sebanyak apapun manusia yang terlahir sampai akhir masa, tidak akan ada yang sama. Sampai kapanpun tidak akan pernah ada alat ciptaan manusia yang mampu untuk mengukur dan mendeteksi sebarapa banyak jenis kejeniusan itu karena tugas manusia bukan untuk mengukur melainkan membaca tanda-tanda. “Sekiranya seluruh makhluk bersatu untuk menghitung segala yang diciptakan Allah, kemudian menghitung berbagai hikmah di balik penciptaan satu makhluk saja, tentu mereka tidak akan mampu melakukannya” (Imam Al-Ghazali).
Sebagai orang yang lebih dulu lahir dibandingkan anak, sebagai pendidik dan/atau orang tua, kita diwajibkan untuk membaca tanda-tanda yang muncul melalui karya, perkataan, atau perilaku anak (perintah untuk iqra). Implikasinya, kita wajib mengapresiasi setiap kali anak memunculkan hal-hal yang unik dan berbeda dibanding yang lainya. Kekeliruan fatal kita pada umumnya justeru menyalahkan bila anak menampilkan hal yang berbeda dengan yang lain.
Suatu ketika, seorang anak menangis tersedu-sedu karena gambar yang dibuatnya diberi nilai rendah oleh gurunya. Pasalnya, gambar yang dibuatnya dipandang tidak “normal” menurut pandangan guru. Si anak mengambar pohon secara terbalik, akarnya di atas, daunnya di bawah, sementara posisi matahari dan benda-benda lainnya normal. Tanpa bertanya kepada anak, sang guru langsung memberi nilai. Nah…..ketika anak tersebut ditanya, gurunya kaget, anak menjawab: “pohon ini menunjukkan bahwa ia punya akar, selama ini tidak terlihat”. Anak
ini menangkap ada “sesuatu” dibalik tersembunyinya akar selama ini. Itulah manusia.
Begitu banyak keanehan-keanehan yang ditunjukkan anak, namun keanehan itu dianggap tidak normal, akhirnya potensi unik yang tersimpan dalam diri anak tidak pernah muncul kepermukaan. Padahal kata “education” berasal dari kata latin “educere” atau “educare” bermakna “mengeluarkan” kekuatan atau potensi yang tersembunyi dalam diri anak.
Tidak hanya tersimpan begitu saja, kekeliruan dalam memberikan layanan pendidikan --ketika kita tidak memberikan apresiasi yang tepat terhadap keunikan anak--, maka kekuatan itu lamakelamaan berakumulasi menjadi kekuatan yang tak terkendali. Pada suatu saat, mereka tidak mampu lagi mengendalikan energi keputusasaannya, akhirnya kekuatan itu dikeluarkan pada saat ia berada pada puncak kekesalan dan frutrasi yang mendalam. Ketika itu logika mereka tidak lagi mampu mengendalikan emosi yang memuncak. Itulah yang kita namakan “kenakalan” anak. Tindakan kriminal yang ia lakukan adalah manifestasi kekecewaan yang mendalam dan terus-menerus berlangsung.
Sebetulnya anak ini korban sistem yang tidak pernah mau dan mampu membaca apa yang mereka butuhkan. Sistem pendidikan yang ada tidak mampu menyediakan ruang yang cukup bagi mereka untuk berkreasi. Dunia pendidikan gagal membaca tanda-tanda unik yang dimunculkan anak. Setiap kali mereka “meminta” untuk diberikan ruang melalui ekspresi uniknya, justeru dunia pendidikan menutupnya karena dianggap tidak normal. Mereka adalah korban, mereka tidak mendapatkan hak-hak pendidikannya. Ternyata sistem pendidikan telah
merenggut hak asasi mereka.
Ironisnya, proses itu berlangsung justeru pada masa-masa aktif dalam dunia pendidikan, dan setelah “kenakalan” mereka dianggap melampaui batas, semua pihak menyalahkan mereka Ibarat sungai, kita bersusah payah berusaha “menjernihkan” air di muara tanpa melihat apa yang terjadi di hulu dan di sepanjang perjalanan air menuju muara, lalu semua pihak saling menyalahkan satu sama lain.
Stop saling menyalahkan, mari kita lakukan revolusi dalam sistem pendidikan. Sebuah revolusi besar akan terjadi apabila kita mulai dari pangkalnya, yaitu proses pembelajaran di sekolah. Sebuah roket akan melesat jauh sesuai dengan arah yang kita harapkan apabila landasannya yang ada di bumu berfungsi dengan baik. Kesalahan fatal kita adalah ketika kita merasa peduli dengan pendidikan anak-anak kita dengan membimbing mereka untuk mencapai titik atau posisi tertentu. Seharusnya kita mendampingi mereka untuk mampu terus belajar (dalam artian yang sesungguhnya) dengan cara yang kondusif bagi masing-masing anak untuk menemukan titik-titik tak terhingga dan
mungkin sama sekali tidak ada dalam bayangan kita saat ini. (Alfie Kohn: 2009).
Salam Pendidikan
Semoga bermanfaat
Zulfikri Anas –Indonesia Bermutu (IB) dan Spirit Media Edukasi (SME)
0 komentar:
Posting Komentar