Neurotransmiter
Oleh: Zulfikri Anas
Peneliti Indonesia Bermutu,
Pembina Yayasan Perguruan
Al-Iman Citayam. Bogor, dan
Bina Putera, Kopo, Serang
Banten
Pendidikan merupakan jalan bagi kita untuk menyadari bahwa Allah
berada di tempat terpenting dalam diri
kita. Inilah sinyal yang menandakan bahwa kita terlahir sebagai manusia. Ini pula yang membuktikan bahwa seluruh hidup kita sudah "disadap" Illahi, tak secuilpun ruang bagi kita untuk mengingkari
apa yang telah kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan. Tak secuilpun tempat
tersedia bagi kita untuk bersembunyi dari kebohongan dan kepalsuan yang pernah
kita lakukan.
Ketika orang-orang pintar
itu mempersoalkan dasar hukum penyadapan atas dirinya atau koleganya, dia
telah memproklamirkan diri
bahwa dia adalah
pengingkar kodratnya yang terlahir sebagai manusia. Seharusnya kita bersyukur ketika perbuatan bohong atau kepalsuan kita terbukti selagi kita ada di dunia, itu artinya masih ada waktu untuk memperbaiki
diri. Jalan untuk itu telah disediakan-Nya. Jalan tersebut di antaranya berupa
ilmu pengetahuan. Artinya semua ilmu pengetahuan telah disediakan untuk menjadi
jembatan bagi manusia untuk menuju
titik terpenting itu, tempat di mana
Allah berada, yaitu di dalam diri kita.
Pada saat kita memikirkan sesuatu --baik atau
buruk--, pada saat itu terjadi proses neurotransmisi kimiawi
dalam otak kita.
Secara fisik, berdasarkan
berbagai kajian ilmiah tentang otak, disebutkan bahwa
peristiwa ini merupakan suatu proses pelepasan neurotransmiter oleh satu neuron
dan mengikat molekul neurotransmiter dengan reseptor (penerima) pada neuron lain. Neurotransmiter merupakan senyawa organik endogenus membawa sinyal di antara neuron.
Artinya, ketika terbetik suatu pikiran tertentu,
pada saat itu terjadi reaksi kimiawi di otak kita membentuk sebuah konfigurasi
atau tatanan, begitulah singkat apa yang terjadi pada saat kita memikirkan
sesuatu. Konfigurasi yang terbentuk akan berbeda ketika kita memikirkan sesuatu
yang baik atau
buruk. Proses itu
mengakibatkan terbentuknya hubungan
antara partikel- partikel yang ada dalam molekul-molekul pada otak kita membentuk sinyal-sinyal yang akan dikirim ke alamt
tertentu, bisa ke mata, ke mulut, ke lidah, ke tangan, ke kaki dan sekujur
tubuh kita.
Nah, kira-kira
apa yang terjadi
ketika kita berfikir
untuk menfitnah seseorang?
Atau menjatuhkan vonis kepada seorang anak lalu melabeli mereka dengan
kata bodoh, malas, nakal dan seterusnya? Pergerakkan neurotransmiter akan mengirim
sinyal ke satu neuron ke neuron lain dan proses itu melibatkan
berbagai partikel dan unsur-unsur lain dalam otak.
Secara berantai akhirnya sinyal itu sampai ke
semua bagian tubuh kita. Ketika sampai di mata, matapun melotot tajam,
begaimana bila sinyal itu sampai ke lidah?, lidah akan mengeluarkan kata-kata
yang sangat tidak enak didengar. Ketika sinyal sampai di mulut, mulutpun
bergerak dalam bentuk yang sangat jelek. Sesampainya di tangan, tanganpun
melayang tanpa merasa bersalah, begitu juga ketika sampai di kaki. Seluruh unsur dalam diri kita
“beradaptasi” terhadap “perintah” yang lahir dari alam pikiran kita.
Lalu, apa artinya?........
Pikiran negatif yang sengaja kita munculkan itu merupakan tindakan
sadar kita untuk “membangun”
sebuah tatanan berfikir yang akan mengantarkan seluruh tubuh kita untuk menjadi
sosok manusia yang negatif, berkepribadian buruk, dan itu artinya kita telah
dengan sengaja menggali lubang
untuk diri kita sendiri, dan lubang itu yang mengantarkan kita ke dalam jurang
yang paling dalam. Kemusyrikan, kekufuran, dan kemunafikkan!.
Satu hal lagi, setiap sinyal
yang dikirimkan itu akan menghasilkan “jejak”, dan “jejak” yang sudah terwujud
tidak akan hilang. Selamanya.
Lalu…..masihkah kita mampu
tertawa pada saat orang lain “tersungkur” akibat sebuah fitnahan yang kita
lontarkan?, atau masihkah kita merasa puas ketika sahabat kita sendiri
tersingkir akibat kecurangan yang kita lakukan? atau mungkinkah arwah kita
nanti dapat beristirahat dengan tenang di pangkuan-Nya ketika dari alam sana
kita menyaksikan anak cucu kita jatuh melarat
dan jungkir balik
membayar warisan hutang
yang kita tinggalkan,
dan kita tahu sebagian dari hutang itu telah kita
korup pada saat kita menduduki jabatan penting dulu? Atau bisakah kita melangkah santai sambil
tersenyum manis dan bangga ketika seorang anak tersingkir dari dunia pendidikan akibat dari label yang kita berikan? Masihkah
kita merasa bangga pada saat
teman kita kesakitan akibat caci maki atau umpatan, yang kita lontarkan? Atau
berbahagia melihat saudara kita terjerembab akibat dendam yang kita
lancarkan?.Dan seterusnya. Seterusnya.
Apa arti senyuman, tertawaan, kepuasan,
kebahagiaan, dan kebanggaan yang lahir dari perbuatan yang demikian?. Tawa,
puas, bahagia dan bangga bahwa kita
telah berhasil menghancurkan diri kita sendiri?!!.
Kita seringkali berfikir seribu kali sebelum
berbuat kebaikan kepada orang lain……..
“Masak saya yang datang untuk memaafkan dia, wong dia yang bersalah, dan
dia juga lebih muda dari dari saya, masak
saya yang memulai untuk
berbaikan…..gengsi doong……”.
Atau…..”pokoknya dia dan orang tuanya harus datang bersimpuh kepada saya untuk
minta maaf, dia telah merusak harga diri saya sebagai seorang guru, dia telah
melecehkan saya, awas, siapa saja yang memperlakukan anak itu dengan baik,
berarti berhadapan dengan saya, sekarang baru tau apa artinya bila melecehkan
saya, selamanya saya akan mengasih dia nilai “nol” di rapornya, rasain, emang
enak”………”keluarkan aja anak itu, dia akan menulari yang lain, dan nama baik sekolah kita sebagai sekolah
unggulan menjadi hancur…..”. Sepertinya kita tidak lagi mempercayai bahwa Allah tidak
mengenal produk gagal!, lalu dengan mudah kita menvonis antar sesama.
Masihkah kita mau melakukan itu?
Kalaupun ada seseorang, atau anak murid kita telah
berbuat salah dan melukai hati kita, memfitnah kita, mencurangi kita,
sesungguhnya pada saat itu dia telah menerima dampak langsung dari perbuatannya
itu. Ini janji Allah melalui berbagai firman-Nya. Allah secara tegas
mengingatkan kita bahwa setiap perbuatan baik atau buruk, penerima
akibat, dampak atau imbas yang pertama (sebelum
ke orang lain) adalah kita.
Tidak perlu kita “hukum” mereka dengan membalas tindakannya secara negatif
pula karena “hukuman” yang kita berikan justeru akan membuat perangkap
bagi diri kita sendiri. Perangkap itulah yang akan mengantarkan kita masuk ke
jurang yang paling dalam yang menyulitkan kita untuk bangkit dari jurang itu.
Ayat tersebut makin menguatkan keyakinan
kita ketika kita mampu menangkap
makna dari
pesan-pesan yang muncul dari tanda-tanda di
sepanjang tahapan proses alam ciptaan Illahi. Ternyata, ketika kita melakukan
sesuatu, perbuatan itu lahir dari sebuah konfigurasi sebagai akibat dari proses
neurotransmisi dan berbagai
proses alamiah lainnya.
Proses itu akan membangun jejaring, dan jejaring
itulah yang menghasilkan pola pikir, sikap, tindakan dan perilaku. Jangankan dalam bentuk tindakan
negatif, masih terbetik
dalam pikiran saja,
kita telah melakukan pengrusakan terhadap diri kita sendiri, dan itu
kita lakukan secara sengaja. Pikiran negatif
yang kita bersitkan
akan mewujudkan tatatan
negatif dalam jejaring neuron dalam otak kita, dan semua itu akan
mewarnai diri kita.
Kedua jenis firman
itu saling menguatkan keyakinan kita akan kuasa dan keberadaan Illahi. Seluruh hidup kita telah
“disadap” Allah.
Keyakinan yang mendalam
itu muncul sebagai
buah pikir luar biasa yang dikaruniakan Allah kepada kita manusia.
Masih adakah nikmat Allah yang pantas kita dustakan? Selamat
berkarya, semoga bermanfaat
Jakarta, 28 Oktober 2017
Selamat merayakan Hari
Sumpah Pemuda.
zuper WOW
BalasHapusTulisan yang amat sangat WOW....
BalasHapus