Pagi itu tiga santri melangkah tegesah-gesah menuju ke rumah sang kiai untuk melaporkan kelakuan seorang santri yang dinalai telah melanggar aturan pondok. Menurut ketiga santri ini adalah saatnya memang harus diambil tindakan preventif agar tidak mempengaruhi yang lainnya. Tiba di dalam rumah sang kiai, santri inipun menceritakan tentang anak yang nakal itu. Kiaipun sambil manggut-manggut mendengarkan ceritanya. “Bagaimana kiai, apa tindakan kami benar?” kata seorang santri. Sang kiaipun manggut-manggut sebagai tanda dia setuju. “Apakah anak ini kita keluarkan saja, biar tidak membawa dampak buruk bagi yang lainnya”. Dengan tetap tenang sang kiai menjawab “jangan!!!”. Ketiga santri itupun kaget dan mengerutkan dahinya tanda mereka heran dan bertanya. “jangan apa kiai??”, ya jangan dikeluarkan. Bagai disambar petir saja, seolah tidak percaya tentang apa yang dikatakan oleh seorang kiai. “tapi kiai…!!! Sudah begini saja, jika kamu sudah tidak sanggunp lagi untuk mengurus, biar saya saja yang menangani nanti. “bagaimana mungkin saya mau keluarkan dia!! Orang tuanya itu titip sama saya karena kenakalannya itu, dan saya sanggup untuk mengasuhnya dan mendidiknya sampai menjadi orang bener”. Terus kalau dia dikeluarkan dari pondok apa kalian berani menjamin nantinya anak ini tidak lebih baik dari keadaannya sekarang. Dengan muka malu dan kecewa tiga santri itu satu persatu mengundurkan diri dari hadapan kiai, lalu mereka pergi dengan segenap pertanyaan ketidakmengertiannya pada sikap kianya.
Anak nakal, ya tetap anak nakal. Begitulah masyarakat memberikan label pada anak nakal itu. Mereka banyak tidak dipandang dalam tatanan masyarakat. Bila perlu mereka dibinasakan agar tidak merusak yang lainnya. Seharusnya lembaga pendidikan baik formal atau non formal menjadi tempat mediasi bagi anak nakal. Namun kenyataannya mereka sering memalingkan muka jika melihat anak nakal ini. Lalu jika lembaga pendidikan saja sudah memalingkan mukanya buat anak nakal ini, lalu siapa yang akan bertangung jawab masa depan mereka. Anak nakal ibarat bagai sebitir gabah dalam setumpuk beras, maka harus dibuang. Padahal seandai saja manusia mau mengupasnya dengan kesabarannya, maka gabah tadi berubah menjadi sebutir beras, yang mungkin saja lebih baik daripada beras sebelumnya.
Kita tidak mungkin mempunyai sosok seperti kanjeng sunan kalijaga, yang awalnya adalah berandal lukojaya yang sadis. Namun karena didikan dari seorang wali juga maka berandal lukojaya menjadi seorang wali yang sangat disegani ditanah Jawa ini. Dalam cerita diatas ternyata anak nakal itu telah berubah menjadi sorang ulama besar. Itu tak lain karena kesabaran seoarang kia dan pentingnya manah yang dipikulnya.
Lalu bagaimana dengan para pendidik kita sekarang? Apakah cukup mempunyai kesabaran yang tinggi sekali. Akankah negeri yang kita cintai ini sudah mengalami degradasi kesabaran dikalangan para pendidiknya dalam mengatasi anak nakal. Padahal masa depan negara kita berada di tangan mereka. Anak nakal sering dianggap sampah, perusak tatanan kehidupan bagi masyarakat heterogen seperti saat ini. Andai saja manusia, terutama lembaga pendidikan punya rasa sense of belonging terhadap kasusu seperti di atas itu, tentunya bangsa ini akan mencapai kejayaan dalam mencetak sumber daya manusia yang handal.
Banyak lembaga pendidikan di negeri kita ini yang memandang anak nakal sebagai virus atau bakteri yang menular dan harus dibasmi. Padahal tidak semua bakteri itu jelek dan jahat, seperti bakteri pembuatan tape. Kesabaran dan ketelatenan sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah seperti ini. Anak nakal sering dimarginalkan dalam sisi-sisi kehidupan sehingga tidak jarang mereka terseret dalam dunia gelap dan selalu bersentuhan dengan hukum kriminalitas. Wallahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar