Berikan Pendapat Anda tentang WI Berikan komentar positif dan santun demi pengembangan konten yang lebih menarik serta lebih faktual dengan berita ilmu yang bermanfaat bagi kita semua pada tahap selanjutnya, untuk partisipasi anda semua saya ucapkan Terimakasih

KEADILAN DAN GIZI PERADABAN

Menegakkan keadilan bagai memegang bara api
Mengemban Amanah
Kapankah keadilan diperoleh gratis yang melegakan jiwa rakyat dan membuat mereka merasa bahwa penguasa menegakkan keadilan dan menjamin perlindungan hak-hak masyarakat, siapapun dia secara adil dan bijaksana? keadilan yang benar-benar adil. Jauh di negeri seberang dahulu keadilan benar-benar ditegakkan oleh sang penguasanya. Inilh dongengnya, di Yeng Juan distrik Yeng Saw yang sekarang Hunan hiduplah dua bersaudara ynag tinggal bersama dan keduanya sudah mempunyai istri yang hamil tua. Suatu saat istri kakaknya keguguran dan tidak memberi tahu sang suami karena malu. Dan istri dari adiknya pun melahirkan pula. Namun sang kakak malam harinya menculik dan mengakui sebagai anaknya. Tentu ini akan menjadi persoalan yang berbelit-belit. Akhirnya persoalan ini menjadi persoalan yang besar dalam keluarga tersebut. Akhirnya persoalan ini pun sampai ditelinga menteri kepala Huang Paw. Dipanggilnya kedua ibu tersebut dan menaruh bayinya sejauh 10 langkah dari tempat mereka berdiri. Lalu mereka suruh menghampiri dan mengangkat bayi tersebut dan bayi itu pun menagis sangat keras sekali. Hingga sang ibu pun tidak tega melihat bayinya menangis dan menaruhnya kembali. Namun perempuan satunya justeru mengangkat dan tak peduli dengan tangisan bayi tersebut. sang menteri pun tersenyum dan berkata kepada ibu yang menagis dan sedih tadi “ambillah anakmu dan bawalah pulang!”. Namun ibu yang satunya tadi justeru diberikan hukuman yang setimpal karena telah mengakui sesuatu yang bukan miliknya. Inilah petikan cerita yang diambil dari “Kecerdasan Orang China” yang diterbitkan oleh terawang pres jogjakarta 2001.
Cerita ini menjadi suguhan nikmat, betapa jelasnya proses penegakkan hukum di negeri tersebut. karena penegak hukum bekerja dengan segenap hati dan jiwa raga mereka demi keadilan semesta. Mereka tegas dan tak bersedia melakukan tawar menawar hukum. Atau bermain pasal-pasal agar mereka lolos dari jeratan hukum. Bagi mereka hukum bukan prosedur hukum yang berbelit-belit, melainkan ruh tuhan yang wajib ditegakkan.
Dulu belum ada fakultas hukum, dan orang-orang waktu itu tidak pinter bermain hukum yang tak sepintar dengan ahli hukum sekarang yang bekerja dengan otak mereka. Mereka pintar berbicara pasal-pasal, terampil menepis esensi kebenaran demi ambisi dan keserakahan demi mencapai kekayaan tanpa mereka menyadari bahwa semua itu telah membunuh roh kehidupan dan melukai hati masyarakat. Dan orang-orang pandai memang bekerja dengan akal dan bila perlu mereka “Ngakali” demi ambisi yang diinginkannya dan mereka tidak peduli. Hidup begitu menjadi kering karena dunia ini Cuma berisi pasal-pasal, sanksi-sanksi dan akal mengakali pihak lain. Hidup sudah kehilangan ruh dan jiwa, karena jiwa mereka telah mereka bunuh demi kehidupan benda, demi gemerlapnya kehidupan keduniaan. Yang mereka tahu Cuma sementara, ibarat mampir minum warung kopi pinggiran jalan.
Ketika sekolah saya membaca kisah keadilan dan sikap bijak raja sulaiaman. Dalam kisah tersebut diceritakan hal yang sama seperti cerita di atas. Dimana ada dua perempuan yang saling berebut dan mengklaim ibu dari seorang bayi. Lalu raja sulaiman pun mengambil tindakan tegas dengan cara menaruh bayi tersebut di atas meja. Dengan menghunus pedang yang tajam dan berkilai-kilat lalu raja sulaiman pun berkata kepada kedua perempuan tersebut “baiklah, demi rasa keadilan maka bayi ini aku belah menjadi dua. Separuh buat kamu, sambil melirik ke perempuan yang satunya.” Lalu sang ibu pun berkata “jangan baginda, jangan kau belah anakku! Biarlah dia yang menerimanya asal anak saya hidup. Dan hamba siap menerima nasib sial saya”. Sementara perempuan yang satu tertawa cekikikan bagai setan kuburan. “ iya baginda belah saja bayi itu saya setuju, dan itu benar-benar adil yang seadil-adilnya”. Lalu raja sulaiman pun berkata pada ibu yang menangis tadi “ hai ibu, ambillah bayimu dan bawalah pulang”. Sementara raja sulaiman berkata pada perempuan satunya “hai kamu penipu, dipenjaralah tempatmu”. Raja sulaiman menunjuk ke penjara yang sempit bau dan menyeramkan.
Sikap lurus dan bijak yang dipelihara bagi tegaknya kebenaran, rasa kemanusiaan di zaman dimanapun selalu menyentuh kehidupan. Mungkin ini yang disebut sebagai gizi peradaban. Di negeri ini mungkin tidak perlu reformasi sebab semua penegak hukum menegakkan hukum setegak-tegaknya. Semua bekerja sesuai prosedur dan kapasitasnya. Politikus tidak pura-pura sakit dan dinfus lantaran kena kasus. Dan bahkan polisi tidak pura-pura mengatakan akan menagkap dalam 2 kali 24 jam walau hakikatnya tidak pernah dilakukan. Semua serba kemunafikan dan kebohongan belaka. Gizi peradaban yang diceritakan dalam dongeng tersebut sungguh sanagat kita perlukan sekali guna menegakkan nilai-nilai dan simbol kebenaran dan kebijakan dalam tataran pemerintahan dan kepemimpinan yang semakin carut marut dan serba ketakutan. Takut tidak diberikan jabatan khusus oleh sang penguasa sehingga mereka lupa akan nilai keadilan dan rasa kemanusiaan. Hukum mereka tajam bagai pisau jika ke arah bawah, namun justeru tumpul apabila berhadapan dengan sang penguasa, Naudhzubillah.
Maka sangatlah diperlukan gizi peradapan yang konsisten dan rasa keadilan yang tidak pernah tebang pilih dalam menciptakan negeri “Gema ripah loh jinawi, toto tentrem kertoraharjo”. Semoga pemimpin kita benar-benar mepunyai sikap tegas seperti sang menteri Yuang Paw dan raja Sulaiman. Semoga.
saya Pak say untuk smart warta ilmu >>>

0 komentar:

Posting Komentar