Berikan Pendapat Anda tentang WI Berikan komentar positif dan santun demi pengembangan konten yang lebih menarik serta lebih faktual dengan berita ilmu yang bermanfaat bagi kita semua pada tahap selanjutnya, untuk partisipasi anda semua saya ucapkan Terimakasih

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN I2M3

Merubah Paradigma Belajar dan Pembelajaran

Agar pembelajaran I2M3 dapat diimplementasikan dalam praktik pembelajaran di kelas, langkah pertama adalah merubah paradigma guru terhdap belajar dan pembelajaran, dari behavioristik ke konstruktivistik. Perubahan paradigma ini sangat esensial karena berkaaitan dengan sikap dan pendangan guru terhadap belajar dan pembelajaran itu sendiri. Mustahil pembelajaran I2M3 ini dilaksanakan, jika guru masih menggunakan paradigma behavioristik
Belajar menurut aliran behavioristik adalah “perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon” (Irawan, at all, 1995:2). Dengan model stimulus-responnya, teori behavioristik menempatkan siswa yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon yang berupa perilaku tertentu dapat dibentuk karena siswa dikondisikan dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill (pembiasaan) semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat manakala diberikan reinforcement/penguatan dan akan menghilang bila dikenai punishment/hukuman (Degeng, 2001:23)
Belajar menurut teori behavioristik adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu bila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Yang terpenting, menurut teori ini adalah masukan/input yang berupa stimulis dan keluaran/output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon itu dianggap tak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati. Yang bisa diamati hanyalah stimulus dan respon. Faktor lain yang penting dalam teori behavioristik adalah pentingnya faktor penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment). Bila penguatan ditambah, maka respon akan semakin kuat. Begitu sebaliknya jika penguatan dikurangi, maka respon akan berkurang (Irawan, 1995:23).
Degeng (2001:24-28) membuat intisari teori behavioristik dari beberapa aspek. Pertama, teori behavioristik memandang pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur rapi. Belajar adalah memperoleh pengetahuan. Mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar. Siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Apa yang dipahami oleh pengajar, itulah yang harus dipahami oleh siswa. Sedangkan fungsi mind/otak adalah menjiplak pengetahuan yang diajarkan. Kedua, teori behavioristik menempatkan keteraturan, kepastian, dan ketertiban sebagai hal yang esensial. Siswa harus dihadapkan pada atauran-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa adalah obyek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Ketiga, kaum behavioris memandang kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikatagorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikatagorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Kontrol belajar berada pada sistem yang berada di luar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa teori belajar behavioristik mempunyai ciri-ciri: (1) seseorang dikatakan telah belajar apabila mampu menunjukkan perubahan perilaku yang dapat diamati (observable) dan diukur (measurable); (2) Perubahan perilaku tersebut ditunjukkan dengan kemampuan melakukan respon terhadap rangsangan (stimulus) yang diberikan; (3) untuk meningkatkan perubahan perilaku positif, pebelajar diberi hadian/reward, dan hukuman/punishmen diberikan agar perilaku negatif tidak diulangi; (4) hadiah dan hukuman biasanya berbentuk aturan atau tata tertib yang harus ditegakkan di atas segala-galanya; (5) Aturan atau tata tertib diharapkan mampu membentuk kebiasaan belajar; dan (6) agar semuanya berjalan baik, maka keseragaman menjadi kunci utamanya.
Pembelajaran behavioristik menurut Degeng (2001:28-30) ada beberapa ciri. Pertama, tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pengetahuan, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajarinya dalam bentuk kuis, tes, atau laporan. Ke dua, penyajian isi menekankan pada ketrampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan. Ke tiga, pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat. Ke empat, aktivitas pembelajaran lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks, Ke lima, pembelajaran menekankan pada hasil. Ke enam, evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan tes tertulis. Evaluasi menuntut satu jawaban benar. Evaluasi dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan belajar dengan penekaanan pada evaluasi individu.
Pembelajaran yang menerapkan teori behavioristik biasanya menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: (1) menentukan tujuan pembelajaran; (2) menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi entry behaviour atau pengetahuan awal siswa; (3) menentukan materi pelajaran; (4) memecah mteri pelajaran menjadi bagian kecil-kecil (sub pokok bahasan atau sub topic); (5) menyajikan materi pelajaran; (6) memberi stimulus yang dapat berupa: pertanyaan lisan atau tulis, tes, latihan, dan tugas; (7) mengamati dan mengkaji respon yang diberikan; ( 8 ) memberi penguatan (baik penguatan positif maupun negative); (9) memberikan stimulus baru; (10) mengamati dan mengkaji respon yang diberikan dalam bentuk evaluasi hasil belajar; (11) memberikan penguatan (Irawan, 1995:23)
Gagasan belajar konstruktivis menurut Von Glassersfeld (dalam Suparno, 1997:24) bermula pada tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun bila diterlusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Itali. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Vico mengungkapkan bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan manusia adalah tuan dari ciptaannya. Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan terpendam sampai Piaget menulis gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif. Piaget mengungkapkan teori adaptasi yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari adaptasi struktur kognitif terhadap lingkungan. Gagasan Peaget ini lebih cepat tersebar dibanding gagasan Vico (Suparno, 1997:25)
Piaget (dalam Dahar, 1988:181-182) mengemukakan bahwa perkembangan intelektual seseorang melalui dua proses, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi adalah kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sitem yang teratur dan berhubungan atau struktur-struktur. Adaptasi adalah kemampuan seseorang untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungannya. Adaptasi dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dilakukan apabila informasi yang diterima sesuai dengan struktur pengetahuan yang dimiliki, sehingga memperkuat struktur yang ada. Akomodasi dilakukan apabila informasi yang diterima tidak sesuai dengan struktur pengetahuan yang dimiliki. Apabila seseorang tidak dapat melakukan asimilasi, maka dalam dirinya terjadi “disequilibrium” atau ketidakseimbangan. Akibat ketidakseimbangan ini, seseorang melakukan akomodasi sehingga struktur-struktur yang sudah ada mengalami perubahan dan struktur baru terbentuk. Struktur baru tersebut merupakan perkembangan intelektual. Perkembangan intelektual merupakan proses terus menerus akibat adanya proses ketidakseimbangan-keseimbangan (disequilibrium-equilibrium). Bagi Piaget, mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual yang dengannya pengalaman-pengalaman dan ide-ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui oleh seseorang yang sedang belajar untuk membentuk struktur pengetahuan baru (Suparno, 1997:33)
Bruner (dalam Dahar, 1988: 119) dikenal dengan teroi belajar penemuannya (Discovery Learning). Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalaui berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui eksperimen-eksperimen. Siswa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Belajar penemuan membangkitkan keingintahuan siswa, dan memotivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban-jawaban. Ia menyarankan agar penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu dengan mengarahkan pada struktur bidang studi.
Vigotsky, adalah salah satu tokoh yang dikenal dengan konsruktivis sosial (Suparno, 1997:45). Ia mengemukakan beberapa teori yang berkaitan dengan konstruktivis sosial, yaitu: (1) hakekat sosial dalam belajar; (2) zone of proximal development (ZPD); (3) pemagangan kognitif; dan (4) scafolding (Nur, 2004:5). Teori hakekat sosial dalam belajar menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Zone Of Proximal Development (ZPD) atau zona perkembangan terdekat adalah suatu ide bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Siswa terlibat dalam zona perkembangan terdekat apabila terlibat dalam tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri tetapi dapat menyelesaikannya bila dibantu oleh teman sebaya mereka atau orang dewasa. Pemagangan Kognitif mengacu pada proses dimana seseorang yang sedang belajar secara bertahap mempeeroleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar. Pakar itu bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahan. Scafolding (Mediated Learning) adalah belajar dengan panduan atau media, dimana guru memandu pengajaran sedemikian rupa sehingga siswa akan menguasai tuntas dan mendarahdagingkan ketrampilan-ketrampilan yang memngkinkan penfungsian kognitif yang lebih tinggi.
Degeng mengemukakan beberapa pandangannya tentang konstruktivis. Menurut Degeng (2001: 25-27) pengetahuan adalah non obyektif, temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivsi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalaman, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Otak (mind) berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasikan peristiwa, obyek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga maknayang dihasilkan bersifat unik dan individualistik. Penataan lingkungan belajar bercirikan: (1) ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan; (2) siswa harus bebas, kebebasan adalah unsur esensial dalam belajar; (3) Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidak kemampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai; (4) kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. (5) Siswa adalah subyek yang harus mampu menggunakan kebebesan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar; (6) kontrol belajar dipegang oleh siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan tentang teori belejar konstruktivis, yaitu: (1) belajar sangat ditentukan oleh kemampuan pebelajar untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan/informasi yang dipelajari; (2) kontruksi pengetahuan terjadi pada kognisi pebelajar dengan cara asimilasi dan akomodasi melalui proses ketidakseimbangan menuju keseimbangan kognitif; (3) belajar dengan cara menemukan sendiri konsep-konsep yang dipelajari akan memberikan pengalaman yang bermakna; (4) agar proses menemukan berjalan baik perlu ada bantuan dari orang yang punya kemampuan setingkat lebih tinggi; (5) belajar melalui kelompok-kelompok kecil dengan kemampuan heterogen akan mempercepat proses belajar; (6) karena kemampuan mengkonstruksi tiap pebelajar berbeda, maka pemaknaan terhadap suatu pengetahuan akan unik dan berbeda untuk setiap pebelajar; (7) dengan demikian penialain dengan tes yang menuntut satu jawaban benar tidak cocok. Penilaian yang cocok adalah penilaian yang berkelanjutan dengan menggunakan berbagai teknik seperti portofolio, kinerja., produk, dan proyek.
Pembelajaran yang konstruktivis dapat dilihat dari ciri-ciri gurunya. Brooks dan Brooks (1993:101-116) mengemukakan ada dua belas ciri guru konstruktivis, yaitu: (1) mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa; (2) menggunakan sumber primer dan materi manipulatif dan interaktif; (3) jika memberi tugas, guru konstruktivis menggunakan kata kerja operasional seperti mengklasifikasi, menganalisis, mempridiksi, dan berkreasi; (4) mengijinkan siswa untuk memberi tanggapan terhadap materi pelajaran, dan strategi pembelajaran; (5) mencari tahu sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu konsep, sebelum berbagi pemahamannya tentang konsep tersebut; (6) mendorong siswa untuk berdialog dengan guru dan nara sumber lain; (7) mendorong siswa melakukan inquiry melalui saling mengajari, memberi pertanyaan terbuka; dan bertanya satu sama lain; ( 8 ) melakukan elaborasi atas respon yang diberikan oleh siswa; (9) menggunakan pengalaman siswa yang bisa menimbulkan kontradiksi sebagai suatu hipotesis awal dan mendorong terjadinya diskusi; (10) memberikan waktu yang cukup setalah memberi pertanyaan; (11) menyediakan waktu yang cukup bagi siswa untuk membangun hubungan-hubungan dan mengkreasikan kesan; dan (12) memelihara keingintahuan siswa yang alamiah dengan sering menggunakan model siklus belajar.
Kamii (1977, dalam Dahar 1988:193-196) mengemukakan model konstruktivis dalam mengajar, yaitu: (1) siapkan benda-benda nyata untuk digunakan para siswa; (2) berbuat terhadap benda meliputi: berbuat terhadap benda dan melihat bagaimana benda itu beraksi, berbuat terhadap benda-benda untuk menghasilkan efek yang diinginkan, menjadi sadar bagaimana seorang menghasilkan efek yang diinginkan, dan menjelaskan; (3) perkenalkan kegiatan yang layak, dan menarik, serta berilah para siswa kebebasan untuk menolak saran-saran guru; (4) tekankan penciptaan pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah dan demikian pula pemecahan-pemecahannya; (5) anjurkan para siswa untuk saling berinteraksi.
Gambaran siswa yang belajar dalam suasana konstruktivis bagaikan air mengalir di sebuah sungai, mengalir, dinamis, penuh resiko, dan menggairahkan. Kesalahan, kreativitas, potensi, dan ketakjuban mengisi tempat itu. Mengajar diibaratkan bagai tukang bersih air sungai agar air dapat mengalir bebas hambatan. Tugas mengajar diibaratkan mengangkat sampah dan kotoran lain, mengeruk lumpur dan pasir, dan memindahkan batu dan kayu. Dari sungai sehingga air dapat mengalir dengan baik. Oleh karenanya ketulusan hati, kesetiaan, kemesraan, kesabaran, cinta, suka cita, improvisasi, pengendalian diri memenuhi pekerjaan mengajar. Mengajar hendaknya menggunakan bahasa cinta. Degeng (2005) menyatakan “janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun” (Degeng, 2007).
Degeng (2001:28-29) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis ditinjau dari berbagai aspek. Pertama, tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar. Kedua, penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian. Ke tiga, pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa. Ke empat, aktivitas pembelajaran lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada ketrampilan berfikir kritis. Ke lima, pembelajaran menekankan pada proses. Ke enam, evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah pada konteks nyata. Evaluasi diarahkan untuk munculnya berfikir divergen, pemecahan ganda, dan bukan hanya satu jawaban benar. Evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran dengan memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Evaluasi menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok.

Mengembangkan Metode Pembelajaran Inovatif

Pembelajaran I2M3 tidak dapat optimal jika guru menerapkan metode pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru (teacher center). Guru hendaknya mengembangkan metode atau model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center), mengaitkan pembelajaran dengan dunia nyata siswa (contextual), siswa belajar memecahkan masalah dalam kehidupan nyata (Proble-base learning), dan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif (cooperative learning). Metode atau model pembelajaran yang demikian biasanya disebut pembelajaran inovatif.
Pada saat ini, setidaknya ada 3 (tiga) model pembelajaran yang berkembang dalam praktik pembelajaran di Indonesia yang mengacu pada pembelajaran I2M3. Ketiga model pembelajaran itu adalah: (1) pengajaran langsung (direct instruction); (2) pembelajaran koperatif (cooperative learning); dan (3) pembelajaran berbasis masalah (problem base learning).

Model Pengajaran Langsung

Pengajaran langsung merupakan model pembelajaran yang berbasis teori behavioris. Nur (2005:19) meyetakan bahwa teori-teori pembelajaran perilaku telah memberikan sumbangan berarti pada pengajaran langsung. Teori-teori tersebut adalah operant conditioning dari B.F. Skiner dan teroi belajar sosial dari Bandura. Hal itu tampak pada sintaks model pengajaran langsung yang meliputi: (1) menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa; (2) mempresentasikan pengetahuan atau mendemonstrasikan keterampilan; (3) memberi latihan terbimbing; (4) mengecek pemahaman dan memberi umpan balik; dan (5) memberi latihan lanjutan dan transfer (Nur, 2005:36)
Pengajaran langsung, masih menjadi model paling banyak digunakan dalam praktik persekolah di Indonesia. Banyak guru menganggap model ini paling efektif untuk menjagajarkan materi. Namun perlu diingat model ini tidak dapat mengembangkan ketrampilan sosial dan berfikir tingkat tinggi. Nur (2005:17) menyatakan bahwa model pengajaran langsung cocok untuk mengajarkan pengetahuan yang terstruktur dengan baik dan diajarkan langkah demi langkah, dan tidak dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan berfikir tingkat tinggi.

Model Pembelajaran Koperatif

Pembelajaran koperatif merupakan model pembelajaran yang sedang digalakkan. Hampir di setiap penataran guru, model ini disosialisasikan. Sebagian besar guru telah mencoba model ini dalam pembelajarannya. Slavin (1994:287) menyatakan “cooperative learning refers to instructional mothods in which student work together in small group to help each other learn”. Hanya sayang banyak guru yang menafsirkan pembelajaran koperatif dengan diskusi kelompok. Padahal yang benar dalam pembelajaran koperatif siswa bekerja bersama (kerja kelompok) dalam kelompok kecil beranggotakan 4 sampai 6 siswa berkemampuan heterogen. Kelompok ini bekerja bersama, saling mengajari, dalam kurun waktu beberapa minggu atau bulan. Hal terpenting dalam pembelajaran koperatif adalah adanya saling ketergantungan positif, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual, dan keterampilan menjalin hubungan antar pribadi (Nur, 2004: 6).
Ada beberapa tipe pembelajaran koperatif yang dapat dipilih dalam pembelajaran, seperti student team achievement devision (STAD), jigsaw, team games tournament (TGT), number head together (NHT), cooperative scrip, Tink Pair Share (TPS), dan msih banyak lagi. Hal terpenting dalam memilih model pembelajaran koperatif adalah kesesuaian dengan kondisi. Kondisi tersebut meliputi: (1) karekteristik materi; (2) karekteristik siswa; (3) kompetensi yang hendak dicapai; dan (4) sarana dan prasaran yang mendukung.
Pembelajaran koperatif, menerapkan kaidah-kaidah konstruktivis, khususnya konstruktivis sosial dari Vigotsky. Hakekat sosial dalam belajar, ZPD, pemagangan kognitif, dan scafolding, yang merupakan ciri-ciri konstruktivis sosial berusaha dikembangkan dalam pembelajaran model ini. Namun jika kita cermati, masih ada satu ciri yang mengarah pada behavioristis, yaitu digunakannya kuis (dengan satu jawaban benar) pada beberapa tipe pembelajaran koperatif seperti STAD. Jigsaw, TGT, dan scrip cooperative.

Model Pembelajaran Berbasis Masalah.

Pembelajaran berbasis masalah termasuk pembelajaran yang masih jarang diterapkan oleh guru. Pembelajaran ini tidak dapat diselesaikan dalam satu kali tatap muka, dan membutuhkan perencanaan yang matang. Borrow dan Tamblyn (dalam Delisle, 1997:3) menjelaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang hasilnya diperoleh dari proses bekerja ke arah pemahaman atau pemecahan masalah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, membangun prinsip-prinsip pembelajaran mengatur belajar sendiri (self-directed learning) dan mendorong pengembangan kecakapan pembelajaran sepanjang hayat (Baptiste, 2003:13).
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang inovatif. Dasna dan Sutrisno (2008) yang menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah (Probelem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. (Dasna dan Sutrisno, 2008)
Ditinjau dari sudut guru, Delisle (2003:14-17) menjelaskan bahwa guru dalam pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa peran, yaitu: (1) mendesain kurikulum; (2) memandu siswa dalam pembelajaran; (3) sebagai evaluator tentang efektivitas masalah, kinerja siswa, dan kinerja guru. Sedangkan peran siswa dalam pembelajaran berbasis masalah adalah: (1) mengatur belajarnya sendiri, menuntun mereka belajar sepanjang hayat; (2) mencari, menyeleksi, dan memanfaatkan sumber daya yang tepat dan paling baik; (3) berfikir kritis dan klinis; (4) berperilaku secara profesional yang tepat; (5) meliputi prinsip-prinsip eti dan legal dalam praktik; (6) bekerja dalam grup dan tim; (7) berkomunikasi secara jernih dan profesional dalam bentuk ucapan dan tulisan; dan ( 8 ) berfikir proaktif.
Arends (2004, dalam Dasna dan Sutrisno) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
Siswa akan berusaha menemukan sendiri konsep-konsep yang dipelajari dan langsung menggunakan konsep-konsep tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Siswa juga menggunakan cara-cara orang dewasa dalam belajar, artinya siswa harus lebih aktif, tidak terlalu tergantung pada guru. Siswa yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) dimana mereka akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. PBL juga bertujuan untuk membantu pebelajar siswa/mahasiswa belajar secara mandiri..
Dasna (2008) membagi pembelajaran berbasis masalah menjadi 5 (lima) langkah, yaitu: (1) mengorientasikan siswa pada masalah; (2) mengorganisasi siswa untuk belajar; (3) membimbing penyelidikan individu dan kelompok; (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya; (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

0 komentar:

Posting Komentar