HANYA
INGIN BERMANFAAT (Sabdho Pandhito Sang Kiai)
Penulis
: SAIFUL ARIF
Gb : Bagai Besi Dalam Gedung |
Sebuah
kalimat santai tapi berbobot dari seorang ulama ketika ada konfirmasi dari guru
Pembina esktrakokuikuler meminta izin tentang adanya event kejuaraan bagi
santri-santrinnya. Beliau mengatakan dengan penuh arti serta rahasia dibalik ucapannya
yaitu “Aku ora butuh menang, Aku ora butuh terkenal, Aku yo ora butuh dadi juara, tapi sing aku butuhno
piye santri-santri iku diajari ilmu sing manfaat”. Jika diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia secara bebas kurang lebih demikian “Saya tidak butuh menang,
Saya tidak butuh terkenal, Saya ya tidak butuh jadi juara, tetapi yang aku
butuhkan bagaimana santri-santri di ajarkan ilmu yang bermanfaat”.
Sampai
saat tulisan ini saya publiksikan rasanya bathin ini benar-benar tergelitik
untuk segera menggali arti dan ilementasikan dari seruan “BELIAU”. Walaupun
saya bukan kerabat dari beliau, namun mengapa hati ini begitu terpaut dan
bahkan jika jujur saat saya alunkan jari-jari ini di atas keyboard laptop (tepat
pukul 01.35 WIB dini hari) tanpa saya sadari mataku bekaca-kaca sebagai tanda
betapa rindunya hati pada ucapan beliau. Pelajaran yang diajarkan begitu
melekat hingga menjadikan sedikit perubahan dari diri sendiri. Saya mencoba
menulis sebuah catatan ini sebagai bentuk empati juga sekaligus curahan hati
betapa seorang pemimpin sejati itu tiada mempedulikan diri sendiri bahkan keegoisan
diri. Saya betul-betul terenyuh perasan ini ketika mencoba mebuka tabir rahasia
dan keikhlasan pemimpin sejati. Saya juga mencoba mengkomparasikan serta
merealisasikan dengan suasana dan kondisi yang ada. Jawabannya adalah “SUNGGUH
KONTRAS DAN PENUH AKSI CARI SENSASI”. Bukan sebuah keniscayaan di waktu
seperti sekarang ini dengan misi dan visi beliau. Jika saya ambil benang merah
apa yang beliau ingin wujudkan adalah keharmonisasian hidup yaitu ”Rahmatan lil ‘Alamin”. Namun,
harapan beliau sepertinya sudah mulai digeser oleh generasi berikutnya setelah peninggalan
beliau menghadap Sang Agung dan Kholik, astagfirullah.
Kejadian
dimasa pandemic covid 19 banyak yang memanfaatkan sebagai momentum mengasah
diri dengan berbagai macam membangun kretifitas diri dengan barbagai macam cara.
Imlementasi dari kegiatan tersebut bisa memberikan materi pelatihan online bagi
sang pendidik, bisa kerja dari rumah bagi pegawai pemerintah dengan menggunakan
teknologi video conference dari berbagai tempat. Kegiatan ini tetpa berlangsung
hingga samapi sekarang ini, terutama dunia Pendidikan dibarbgai tingkatan. Semua
pendidik berusaha menterjemahkan Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan dari Dinas
tertentu. Pola pembelajarn daring begitu menguras keringat para pendidik untuk
segera menerapkan ke semua murid-muridnya. Melaluhi WAG yang secara umum bisa
dipakai semua kalangan, baik siswa, orang tua juga guru. Sampai detik ini
pembelajaran daring yang kelihatan efektif juga berjalan adalah tingkatan PAUD
dan TK. Control anak sangat mudah diarahkan, sehingga orang tua tidak merasa
kesulitan dalam progam ini. Setiap hari buat laporan secara dokumentasi (photo
dan video) tentang apa yang dipelajari oleh anak didiknya yang kemudian di
kirim melalaluhi WAG tersebut dan untuk bahan penilaian. Namun, tidak begitu dengan
tingkat lanjutannya yang memang tidak efektif (tidak semuanya tapi Sebagian besar),
dan terkesan hanya di ujung pena dan lidah.
Laporan
hanya sekedar gugur kewajiban sebagai Abdi Negara dengan berasumsi bebas
kewajiban administrasi. Vcall yang mereka sampaikan hanya ada beberapa bahkan
bisa di hitung dengan jari tangan saja. Publikasi mereka mungkin sebagai pemantik
bagi yang lainnya, amun masih tekesan sebagai pasang ketenaran saja. Bagaimana tidak!
Semua sumber daya manusianya (SDM) belum disiapkan dengan kondisi seperti
sekarang ini. Tiba-tiba pemerintah mulai pusat hingga daerah menerapkan
kebijakan dengan menggunakan template yang membuat guru bingung. Lengkap sudah
carut marutnya pembelajaran daring ini. Namun jika kita berkaca dengan jujur,
menjadi guru itu yang penting adalah “JANGAN TERLALU BANYAK MENUNTUT HAK,
TETAPI PERBANYAKLAH KEWAJIBAN”. Namun, selama ini yang saya perhatikan
justeru kebalikannya, jika urusan uang atau kesejahteraan menjadi skala
prioritas dan harus didahulukan menjadi hukum WAJIB. Meninggalkan kelas dan
menelantarkan siswa bukan menjadi perhatian lagi. Ditambah dengan terbiasa
mendiskritkan pemerintah dengan diksi dan nada MEMBENCI setiap kebijakan
peerintah yang seolah-olah tidak pro dengan hati dan perasaanya. Kembali lagi
apa yang disampaikan pada kalimat beliau yaitu ORA BUTUH MENANG DAN TEKENAL.
Ini berat sekali jika kita pegang dan lakukan dalam kehidupan kita sebagai
pendidik. Kondisi yang terjadi setiap kehidupan orang (pendidik) sangat berbeda
sekali. Mungkin ada yang kaya juga ada yang miskin. Ukuran kaya dan miskin ini
sebenarnya adalah abstrak tergantung define masing-masing individu dalam
mensikapinya. Sekali lagi ukuran kaya dan miskin terletak dalam hati karena sangat
jelas korelasinya dengan rasa bersyukur. Jika kita tak pernah bahwa menjadi
guru itu sebenarnya AGEN JASA. Pelayan bagi yang lainnya tanpa
peduli pada hasil namun selalu membenahi dan memperbaiki proses. Saya yakin dan
percaya sampai tulisan ini saya buat tidak semua para pembaca setuju tentang
pendapat ini. Tidak mungkin bagi saya utuk membuat berjuta-juta pikitan menjadi
sat ugaris lurus mengikuti apa yang saya inginkan. Karena saya sadar bahwa
setiap masing-masing pribadi mempunyai pendapat dan ego yang berbeda-beda.
Dengan
berbagai media sosial yang lagi beredar samapi saat ini dengan teknologi yang
masing-masing terkenal dengan kelebihan masing-masing (WA dan Facebook) mencoba
menawaran diri sebagi solusi dari berbagai macam persoalan. Banyak mereka yang
mencoba membuat karya denagn berbagai macam topik, mulai karya tulis ataukarya
manajemen Lembaga mencoba untuk mempublikasikan diri sebagi bentuk kehebatan dari
masing-masing. Kegiatan sosial kemasyarakatan dan juga kemanusiaan tidak lepas
dari pempublikasian mereka. Entah apa tujuan yang sebenarnya, apakan agar
terkenal dan dikatakan oleh banyak pihak “WOW” begitu. Apakah mereka salah? Secara
kodrat kmanusiaan jelas tidak salah karena itu adalah hak azasi. Banyak saya
jumpai juga kalimat-kalimat Mutiara diberbagai media sosial juga mengajak-ajak
ke jalan kebaikan. Satu pertanyaan adalah “Mengapa dan Apakah pribadinya
sudah mengalami sentuhan batin dari apa yang dia katakan?”. Tentu menjadi
sebuah kemunafikan dan diksi yang yang mengarah pada opini yang terlalu
berapreiori. Menunjukkan kehebatan diri atau memang mengajak pada sesama untuk
berbuat seperti kehebatan dirinya? Saya juga tidak bisa menilainya yang berhubungan
dengan hati. Jujur, tulisan ini saya buat karena kecenderungan kita sebagi makhluk
manusia ingin sebuah ketenaran juga merasa diri paling hebat diantara diri yang
lainnya.
Pembuatan
karya tulis bisa bentuk buku, Karya tulis penelitian, ccerpen, komik, cergam
atau yang lainnya tentu tak terlepas dari apa yang tersebut di atas. Mau atau
tidak saya akan tetap mengikuti jlan beliau. Bahkan percayakah anda dengan
tulisan ini saya akan tetap berkomitmen mencoba mengimplementasikan apa yang beliau
inginkan terhadap diri saya waktu itu yaitu “SING IKHLAS, SING ASLI OJO
PALSU DADIO KOYOK INTEN BEN APIK” (YANG IKHLAS, YANG ASLI, JANGAN PALSU JADILAH
SEPERTI INTAN BIAR BAIK). Ini pesan terakhir yang saya dengar
dari beliau saat piket di sebuah kantor organisasi islam terbesar di daerah
saya. Jika apa yang kita lakukan benar-benar karena Allah SWT dalam artian yang
sebenar-benarnya. Bukan arti diujung bibir apalagi arti di halaman WhatsApp dan
Facebook. Mencoba menjadi pribadi seperti akar tanaman dan juga menjadi besi
dalam tembok Gedung yang tetap akan memberikan keindahan dan kemaslahatan
walaupun diri tiada terkenal dan juga dikenal oleh semua orang.
#salamintegritas
#salammastersay
0 komentar:
Posting Komentar