Kasus kekerasan yang sering terjadi di lingkungan kampus dalam kegiatan OSPEK (orientasi studi pengenalan kampus) masih sering terjadi. Ini tak lain karena control pihak kampus yang masih minim pengawasan terhadap mahasiswa yang terlibat langsung di dalam kegiatan tersebut. Terlukanya beberapa peserta Ospek bahkan nyawa melayang sering mewarnai kegiatan ceremonial ini. Seharusnya kampus sekarang seudah saatnya merubah sistim pelaksanaanya menjadi lebih baik, seperti melibatkan para dosen dalam melakukan pembinaan terhadap mahasiswa barunya. Jika memang harus melibatkan mahasiswa seniornya, mungkin hanya sebatas masalah-masalah keadministrasian saja. Bukan langsung terjun ke lapakan dan melakukan tindakan ekerasan bahkan asusila yang seperti contoh di ITN Malang atau di STPDN tahun yang lalu.
Selama ini Ospek bukanlah istilah yang asing lagi bagi kita. Mulai dari Mapram, Mapta, Ospek hingga MOS itu sendiri, yang ternyata perubahan nama tersebut tak diiringi dengan perubahan sistem perpeloncoan ke arah yang lebih baik. Entah siapa yang memulai memberi nama resminya, yang jelas Ospek ini dahulunya bernama Mapram dan Mapta. Keduanya disebut-sebut dekat dengan masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Setelah zaman Reformasi namanya berganti Ospek dan sampai saat ini lebih dikenal lagi dengan istilah baru Masa Orientasi Siswa.
Menurut berbagai sumber, Ospek sangat erat kaitannya dengan mahasiswa baru (maba) yang baru saja memulai hari-hari pertamanya memasuki kampus. Sedangkan MOS adalah ospek untuk para pelajar yang duduk di bangku SMP ataupun SMA. Namun pada intinya sama, untuk mengenal dan memahami lingkungan tempat belajar sebagai suatu lingkungan akademis serta memahami mekanisme yang berlaku di dalamnya. Kendati keempat istilah itu disebut-sebut sebagai ajang untuk memperkenalkan siswa/mahasiswa pada lingkungan baru sekolahnya, tetap saja banyak yang merasakan efek negatif akibat prosesi acara itu. Mereka yang mengikuti Ospek misalnya, dipaksa untuk mengikuti sistem yang sudah turun temurun dilakukan, yang efeknya tentu semua sudah tahu, meninggalkan kesan yang tidak baik.
Kegiatan Ospek dan MOS di Indonesia sering kali diisi oleh kekerasan dalam bentuk verbal dan tak jarang terjadi kekerasan fisik. Dengan konsep junior harus patuh kepada senior, apapun perintahnya. Sehingga sering kali para peserta disuruh mengenakan pakaian dan ornamen yang tidak wajar bahkan harus mau menerima hukuman fisik dari senior bahkan sampai berujung pada kematian. Beberapa masyarakat mengkritik kegiatan-kegiatan tersebut. Apapun dalih tujuan dari Ospek seperti dikutip dari Wikipedia, menurut para psikologis, sebenarnya tiada lain adalah tindakan balas dendam para senior akan pengalamannya ketika mereka mengikuti kegiatan Ospek. Walaupun sebagian besar secara resmi kegiatan Ospek yang negatif diberhentikan, ada saja beberapa pihak yang masih melaksanakan kegiatan negatif tersebut.Sebab, yang pernah merasakan Ospek atau MOS mereka bisa saja melakukannya lagi kepada juniornya. Hal itu akan terus saja berputar seakan sudah menjadi tradisi, seakan sudah terlembaga dan lazim dilakukan kepada calon-calon pembangun bangsa Indonesia selanjutnya. Inilah evolusi perpeloncoan, kezaliman yang terlembaga.
Menurut harian berita MERDEKA.COM bahwa Orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) kembali mencoreng dunia pendidikan. Alih-alih untuk perkenalan mahasiswa baru dengan senior, Ospek justru menjadi ajang kekerasan. Tercatat beberapa nyawa melayang dalam kegiatan perpeloncoan itu. Baru-baru ini Ospek kembali menjadi sorotan setelah mahasiswa Institut Teknik Nasional (ITN) Malang, Fikri Dolasmantya Surya tewas. Fikri kala itu mengikuti Kemah Bakti Desa (KBD) di kawasan Goa China, Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, 12 Oktober 2013.
Melihat sejumlah fakta, ironis rasanya jika Ospek tetap dilakukan. Sebenarnya sejak kapan Ospek menjadi tradisi di kampus-kampus? Apakah memang dari dahulu kegiatan itu identik dengan kekerasan? Memang ada beberapa versi yang mengulas mengenai asal usul Ospek. Pertama, kegiatan itu bermula dari Universitas Cambridge, Inggris. Mayoritas mahasiswa di sana datang dari keluarga terhormat, sehingga sulit untuk diatur dan cenderung bertindak seenaknya. Merasa memiliki kekuatan, para senior membuat aturan setiap mahasiswa baru harus diplonco. Tujuannya agar para junior hormat. Di Indonesia sendiri dikabarkan tradisi itu dimulai sekitar tahun 1950-an.
Jika menelisik lebih ke belakang, versi lain menyebutkan Ospek ini sudah ada sejak Zaman Kolonial dulu, tepatnya di STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Kemudian terus berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942). Sekarang STOVIA dan GHS menjadi FKUI Salemba.
Sekarang ini Ospek sudah menjadi menu wajib yang harus dilahap para mahasiswa baru, walaupun tidak semua kampus masih mempertahankannya. Tapi sayangnya kegiatan lebih diisi dengan hal-hal negatif. Intinya, untuk membuat para senior puas. Meski muncul sejumlah reaksi keras, namun kenyataannya Ospek justru menjalar sampai tingkat SMA dan SMA. Terkadang dilakukan oleh kakak kelas tanpa diketahui pihak sekolah. Biasanya kegiatan ilegal itu terbongkar setelah ada korban. Miris. Kini, sudah saatnya kegiatan Ospek yang menonjolkan kekerasan dihentikan, tak perlu lagi menunggu adanya korban jiwa. Jika ini dibiarkan tentu saja kualitas pendidikan di Tanah Air akan mendapat sorotan negative. subhanallah
salam pak say sing ganteng
Dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar