بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ
Ciri-Ciri 70 Golongan Yang Masuk Surga Tanpa Dihisap
Biarpun dunia telah memasuki zaman millennium, yang kata orang sebagai
zaman serba canggih dengan segala perangkatnya. Ternyata tidak sedikit orang
yang terjebak dan mempercayai permainan omong kosong apa yang disebut dengan
nama ‘dukun’. Ada
yang menyebutnya dengan istilah ‘orang pintar’, paranormal maupun tukang ramal
nasib. Yang dipercayai dapat mengetahui nasib seseorang atau perihal ghaib
lainnya. Bukankah hal itu tidak lebih sebagai tipu daya belaka terhadap pasien
atau orang-orang yang bertanya dan mempercayai kepadanya. Lantas, bagaimanakah
sang dukun mengetahui hal yang ghaib? Apakah hal-hal ghaib bisa dipelajari? Insya Allah ringkasan berikut, dapat menjadi pengetahuan dan pedoman kita
meluruskan aqidah secara benar. Cuplikan dari majalah Al Ashalah Edisi
Dzulhijjah 1416 H, artikel yang berjudul ‘Ilmu Ghaib Wa Ahwal Kuhanah Wal
‘Arafin, Ditulis Oleh : Muhammad Abdurrahman Al Khumayyis. Juga kami sertakan
ulasan singkat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, yang cuplik dari Majmu’
Fatawa, Jilid 1 hal. 67.
BENARKAH DUKUN MENGETAHUI PERKARA GHAIB?
Alhamdulillah,
ash shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ba’du;
Sesungguhnya pengetahuan terhadap perkara ghaib termasuk hal yang menjadi
rahasia Allah.Termasuk sifat Allah paling khusus, yang tidak ada seorang
makhlukpun dapat menyamai-Nya. Sebagaimana firman-Nya,
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ
لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ
مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ
وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan
dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu
yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh) (QS Al An’am : 59).
Dan firmanNya,
الْغَيْبِ
فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا . إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ
فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن عَالِمَ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul
yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)
di muka dan di belakangnya. (QS Al Jin : 26,27).
Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dirinya atau orang lain boleh menguasai
perkara ghaib, berarti ia telah kafir. Karena perkara ini termasuk perkara yang
tidak pernah diberitakan kepada siapapun oleh Allah; tidak kepada para malaikat
yang dekat dan tidak juga kepada para rasul yang diutus.
Namun sangat disayangkan, banyak diantara orang awam di sebagian
negara-negara Islam yang masih percaya kepada cerita-cerita khurafat dan
cerita-cerita syirik orang-orang jahiliyah. Misalnya keyakinan, bahwa ada
sebagian orang yang dapat mengetahui perkara ghaib. Seperti : dukun, tukang
tenung atau yang sejenisnya. Kenyataan ini bisa didapati pada banyak negara
Islam. Ini adalah kekeliruan yang sangat berbahaya dalam aqidah, karena
merupakan perbuatan menyekutukan Allah dengan selainNya dalam hal yang menjadi
kekhususan Allah, yaitu mengetahui perkara ghaib.
Dalam sebuah
hadits,
مَنْ أَتَى
كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ
عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung atau dukun, lalu ia percaya
dengan apa yang dikatakan dukun atau tukang tenung itu, berarti ia telah kafir
dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.(HR. Imam Ahmad)
Dukun-dukun itu telah banyak merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Masyarakat telah mengeluarkan banyak harta demi mendapatkan ilmu ghaib menurut
sangkaan mereka- dan terkadang sang dukun memberitahukan kepada mereka beberapa
perkara, sebagiannya (kebetulan-pent) benar dan sebagiannya lagi bohong. Bahkan
sebagian besar adalah bohong. Sehingga terbaliklah tolok ukur kehidupannya,
yaitu banyak orang mengatur hidup mereka berdasarkan saran-saran yang
disampaikan oleh sang pendusta yang mengaku mengetahui perkara ghaib.
Allah berfirman kepada NabiNya,
قُل
لآَّأَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَاشَآءَ اللهُ وَلَوْ كُنتُ
أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَامَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ
أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah,"Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan
tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya
aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya
dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.(QS Al
A’raf : 188).
Jika Nabi saja tidak mengetahui perkara ghaib, bahkan dengan terus terang
beliau menafikan hal itu atas dirinya, maka orang selain beliau pasti tidak
lebih tahu. Karena Beliau n lebih berhak daripada mereka. Beliau adalah anak
keturunan Adam yang paling afdhal secara mutlak. Ketika ada nash yang
menyatakan, bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib, maka selain beliau
pasti lebih tidak tahu lagi.
Tergelincirnya banyak orang ke dalam kesalahan berbahaya ini, disebabkan
oleh beberapa berita yang mereka lihat ‘benar’, yang berasal dari para pendusta
itu. Sehingga keyakinan mereka semakin kuat, dan selanjutnya mempercayai
cerita-cerita sang dukun berikutnya.
Begitulah pintu kedustaan dan dajjal menjadi semakin terbuka. Para pendusta inipun menjelma menjadi wali-wali Allah
(menurut dugaan mereka). Orang-orang awam (bodoh) itu melupakan banyak hal.
Diantaranya :
عَالِمَ
الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا . إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن
رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul
yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)
di muka dan di belakangnya. (QS Al Jin : 26,27).
Adapun mengenai jalan yang ditempuh oleh para pendusta ini -sehingga bisa
memberitakan sebagian perkara ghaib- yaitu sebagai berikut :
قَالَتْ عَائِشَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أُنَاسٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكُهَّانِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسُوا بِشَيْءٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ أَحْيَانًا بِالشَّيْءِ يَكُونُ حَقًّا فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ
يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقِرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ فَيَخْلِطُونَ فِيهَا
مِائَةَ كَذْبَةٍ
Aisyah istri Nabi berkata, Ada
sekelompok orang yang bertanya kepada Rasulullah masalah tukang dukun, Beliau
menjawab,Mereka tidak ada apa-apanya. Orang-orang itu berkata, Wahai
Rasulullah, terkadang mereka membicarakan sesuatu yang benar. Maka Rasulullah menjawab, Itulah sebuah kalimat kebenaran
yang dicuri oleh jin, lalu disampaikan kepada telinga walinya, lalu wali-wali
jin ini mencampurinya dengan seratus kedustaan.
Jika sudah tahu, ia lalu menyampaikan berita tersebut kepada ‘sang
dajjal’ (dalam hal ini dukun). Dengan modal berita, sang dukun menghadapi
orang-orang yang tidak tahu, sehingga dianggapnya mengetahui semua perkara yang
telah lewat. Karena itu, semua ucapannya tentang apa-apa yang akan datang dan
masalah ghaibiyah menjadi bisa di terima.
Sebagai penutup. Saya ingatkan kepada kaum muslimin, agar jangan merusak
agamanya, akidahnya, dunianya dan akhiratnya dengan mendatangi dukun atau
tukang tenung, meminta pendapat mereka maupun mempercayai mereka. Semua itu
merupakan kekufuran.
Mereka wajib bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut, jika mereka
sudah terlanjur tergelincir dalam perbuatan seperti itu.
Mereka wajib mengoreksi kembali akidahnya. Mengetahui hal-hal yang bisa
memperbaiki dan hal yang bisa merusak. Ini merupakan kewajiban yang paling
mendasar. Wallahu min wara’ al qhasd
HUKUM ORANG YANG MENGAKU MENGETAHUI PERKARA
GHAIB
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya tentang hukum orang
yang mengaku mengetahui perkara ghaib. Maka, beliau menjawab sebagai berikut.
Orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib, berarti ia telah kafir.
Sebab, ia telah mendustakan Allah . Allah berfirman,
قُل
لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah,"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui
bila mereka akan dibangkitkan. (QS An Naml : 65).
Apabila Allah telah menyuruh NabiNya; Muhammad untuk mengumumkan kepada
khalayak, bahwa tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui
perkara ghaib, kecuali Allah; maka orang yang mengaku mengetahuinya, berarti ia
telah mendustkan Allah. Kita katakan kepada orang-orang ini, Bagaimana mungkin
kalian mengetahui yang ghaib, padahal Nabi tidak mengetahuinya? Apakah kalian lebih
mulia, ataukah Rasulullah? Jika mereka menjawab, Kami lebih mulia, berarti mereka
telah kafir akibat dari perkataannya ini. Jika mereka menjawab, Dia lebih
mulia, maka kita katakan, Kenapa dia tidak mengetahui yang ghaib, sedangkan
kalian bisa mengetahuinya? Padahal Allah berfirman,
عَالِمَ
الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا . إِلاَّمَنِ ارْتَضَى مِن
رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul
yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)
di muka dan di belakangnya. (QS Al Jin : 26,27).
Inilah ayat kedua yang menunjukkan kekufuran orang-orang yang mengaku
mengetahui perkara ghaib. Padahal Allah k telah memerintahkan NabiNya; Muhammad
untuk menngumumkan kepada khalayak dengan firmanNya,
قُل لآأَقُولُ
لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلآأَقُولُ لَكُمْ إِنِّي
مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَايُوحَى إِلَيَّ
Katakanlah,Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada
padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku
mengatakan kepadamu, bahwa aku ini Malaikat. Aku tidak mengikuti, kecuali apa
yang telah diwahyukan kepadaku. (QS Al An’am : 50).
“Hukum
Tathayyur” ketegori Muslim. Hukum Tathayyur
Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab
Firman Allah
Ta’ala :
“Mereka berkata: “Kesialan kamu itu adalah karena
kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan . Sebenarnya kamu adalah kaum
yang melampaui batas.”.”
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada ‘adwa, thiyarah, hamah dan shafar.” .
Dan dalam salah satu riwayat Muslim, disebutkan tambahan: “… dan tidak ada nau’
serta ghul.”
‘Adwa: penjangkitan atau penularan penyakit. Maksud
sabda Nabi disini ialah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di
zaman jahiliyah bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa
kehendak dan takdir Allah Ta’ala. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan keberadaan penjangkitan atau penularannya;
sebab, dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan: “… dan menjauhlah
dari orang yang terkena penyakit kusta sebagaimana kamu menjauh dari singa.”
Ini menunjukkan bahwa, penjangkitan atau penularan
penyakit dengan sendirinya tidak ada, tetapi semuanya atas kehendak dan takdir
Ilahi, namun sebagai insan muslim disamping iman kepada takdir tersebut
haruslah berusaha melakukan tindakan preventif sebelum terjadi penularan
sebagaimana usahanya menjauh dari terkaman singa. Inilah hakekat iman kepada
takdir Ilahi.
Thiyarah: merasa bernasib sial atau meramal nasib
buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.
Hamah: burung hantu. Orang-orang jahiliyah merasa
bernasib sial dengan melihatnya; apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah
salah seorang di antara mereka, dia merasa bahwa burung ini membawa berita
kematian tentang dirinya sendiri atau salah satu anggota keluarganya. Dan
maksud sabda beliau adalah untuk menolak anggapan yang tidak benar ini. Bagi
seorang muslim, anggapan seperti ini harus tidak ada, semua adalah dari Allah
dan sudah ditentukan oleh-Nya.
Shafar: bulan kedua dalam tahun Hijriyah, yaitu
bulan sesudah Muharram. Orang-orang jahiliyah beranggapan bahwa bulan ini
membawa nasib sial atau tidak menguntungkan. Yang demikian dinyatakan tidak ada
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan termasuk dalam anggapan
seperti ini: merasa bahwa hari Rabu mendatangkan sial, dll. Hal ini termasuk
jenis thiyarah, dilarang dalam Islam.
Nau’: bintang; arti asalnya adalah: tenggelam atau
terbitnya suatu bintang. Orang-orang
jahiliyah menisbatkan hujan turun kepada bintang ini, atau bintang itu. Maka
Islam datang mengikis anggapan seperti ini, bahwa tidak ada hujan turun karena
suatu bintang tertentu, tetapi semua itu adalah ketentuan dari Allah ‘Azza wa
Jalla.
Ghul: hantu , salah satu makhluk jenis jin. Mereka
beranggapan bahwa hantu ini dengan perubahan bentuk maupun warnanya dapat menyesatkan
seseorang dan mencelakakannya. Sedang maksud sabda Nabi disini bukanlah tidak
mengakui keberadaan makhluk seperti ini, tetapi menolak anggapan mereka yang
tidak baik tersebut yang akibatnya takut kepada selain Allah serta tidak
bertawakkal kepada-Nya. Inilah yang ditolak oleh beliau; untuk itu dalam hadits
lain beliau bersabda: “Apabila hantu beraksi menakut-nakuti kamu, maka
serukanlah adzan”, artinya: tolaklah kejahatannya itu dengan berdzikir dan
menyebut Allah. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Anas
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
“Tidak ada ‘adwa dan thiyarah, tetapi fa’l
menyenangkan diriku.” Para sahabat bertanya: “Apakah fa’l itu?” Beliau
menjawab: “Yaitu kalimah thayyibah .”.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad shahih dari
‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: “Thiyarah disebut-sebut di hadapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun bersabda: “Yang paling baik
adalah fa’l, dan thiyarah tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari
niatnya. Apabila salah seorang diantara kamu melihat sesuatu yang tidak
diinginkannya maka supaya berdoa: “Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan
kebaikan selain Engkau; tiada yang dapat menolak keburukan selain Engkau; dan
tiada daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.”.”
Abu Dawud
meriwayatkan pula hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu:
“Thiyarah adalah
syirik, thiyarah adalah syirik; dan tiada seorang pun dari antara kita kecuali
, hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.”
Hadits ini
diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih dan kalimat
terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas’ud.
Imam Ahmad
meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Amr, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Barangsiapa
yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah, maka dia telah berbuat syirik.” Para sahabat bertanya: “Lalu apakah sebagai tebusannya?”
Beliau menjawab: “Supaya dia mengucapkan: Ya Allah, tiada kebaikan kecuali
kebaikan dari Engkau; tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau; dan tiada
Sembahan yang hak selain Engkau…”
Imam Ahmad
meriwayatkan pula hadits dari Al-Fadhl ibn Al-’Abbas Radhiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya
thiyarah itu ialah yang menjadikan kamu terus melangkah atau mengurungkan niat
.”
Kandungan
tulisan ini:
Tafsiran kedua
ayat tersebut di atas. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa tathayyur termasuk
perbuatan jahiliyah dan syirik, karena segala sesuatu termasuk nasib sial
merupakan takdir dari Allah; dan menunjukkan bahwa kesialan terjadi karena
perbuatan maksiat kepada Allah.
Dinyatakan bahwa
tidak ada ‘adwa .
Dinyatakan bahwa
tidak ada thiyarah.
Dan dinyatakan
bahwa tidak ada hamah.
Serta dinyatakan
bahwa tidak ada shafar.
Fa’i tidak
termasuk yang ditolak dan dilarang oleh Rasulullah bahkan dianjurkan.
Pengertian fa’i.
Apabila terjadi
thiyarah dalam hati seseorang, tetapi dia tidak menginginkannya, maka hal itu
tidak apa-apa hukumnya, bahkan Allah menghapuskannya dengan tawakkal.
Doa yang harus
dibaca oleh orang yang menjumpai hal tersebut.
Ditegaskan bahwa
thiyarah adalah syirik.
Pengertian
thiyarah yang tercela dan terlarang.
Dikutip dari buku: Kitab Tauhid karangan
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da’wah dan
Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ
حَدَّثَنَا حَيْوَةُ أَخْبَرَنِي بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ هُبَيْرَةَ يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ أَبَا تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيَّ
يَقُولُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ إِنَّهُ
سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْ أَنَّكُمْ
تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ
الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا (رواه أحمد)
Dari Umar bin
Khattab ra berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sekiranya
kalian benar-benar bertawakal kepada Allah SWT dengan tawakal yang
sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rizki (oleh Allah SWT),
sebagaimana seekor burung diberi rizki; dimana ia pergi pada pagi hari dalam
keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang (HR. Ahmad,
Turmudzi dan Ibnu Majah).
Sekilas Tentang
Hadits
Hadits ini
merupakan hadits marfu’ dari Umar bin Khattab ra, yang diriwayatkan melalui
jalur sanad Abdullah bin Hubairah, dari Abu Tamim Al-Jaisyani, dari Umar bin
Khattab, dari Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh :
- Imam Turmudzi dalam Sunan/ Jami’nya, Kitab Al-Zuhud An Rasulillah SAW, Bab Fi Attawakkal Alallahi, hadits no 2344.
- Imam Ibnu Majah dalam sunnannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Attawakkal Wal Yaqin, hadits no 4164.
- Imam Ahmad bin Hambal dalam tiga tempat dalam musnadnya, yaitu pada hadits no 205, 372 dan 375.
Makna Hadits
Secara Umum
Hadits di atas
menjelaskan tentang hakekat tawakal yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dengan
perumpamaan seekor burung. Dimana burung pergi (baca ; mencari karunia Allah)
pada pagi hari dengan perut kosong karena lapar, namun di sore hari ia pulang
dalam keadaan perut kenyang dan terisi penuh. Karena pada hakekatnya Allah SWT
lah yang memberikan rizkinya sesuai dengan kebutuhannya.
Demikian juga
manusia, sekiranya manusia benar-benar bertawakal kepada Allah SWT dengan
mengamalkan hakekat tawakal yang sesungguhnya, tentulah dari aspek rizki, Allah
SWT akan memberikan rizki padanya sebagaimana seekor burung yang berangkat pada
pagi hari dengan perut kosong dan pulang pada sore hari dengan perut kenyang.
Artinya insya Allah rizkinya akan Allah cukupi.
Makna Dan
Hakekat Tawakal
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata
‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan.
(Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang
menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah
SWT.
Sedangkan dari
segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, yang
sesungguhnya memiliki muara yang sama. Diantara definisi mereka adalah:
1. Menurut Imam
Ahmad bin Hambal.
Tawakal
merupakan aktivias hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan
oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang
dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan
dan pengetahuan. (Al-Jauzi/ Tahdzib Madarijis Salikin, tt : 337)
2. Ibnu Qoyim
al-Jauzi
“Tawakal
merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan
segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya
kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan
bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap
melaksanakan ‘sebab-sebab’ (baca ; faktor-faktor yang mengarakhkannya pada
sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.”
(Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was
Sunnah, 1975 : 254)
Sebagian ulama salafuna shaleh lainnya
memberikan komentar beragam mengenai pernak pernik takawal, diantaranya adalah
ungkapan : Jika dikatakan bahwa Dinul Islam secara umum meliputi dua aspek;
yaitu al-isti’anah (meminta pertolongan Allah) dan al-inabah (taubat kepada
Allah), maka tawakal merupakan setengah dari komponen Dinul Islam. Karena
tawakal merupakan repleksi dari al-isti’anah (meminta pertolongan hanya kepada
Allah SWT) : Seseorang yang hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada
Allah, menyandarkan dirinya hanya kepada-Nya, maka pada hakekatnya ia
bertawakal kepada Allah.
Salafus saleh
lainnya, Sahl bin Abdillah al-Tasattiri juga mengemukakan bahwa ‘ilmu merupakan
jalan menuju penghambaan kepada Allah. Penghambaan merupakan jalan menuju
kewara’an (sifat menjauhkan diri dari segala kemaksiatan). Kewaraan merupakan jalan mmenuju pada kezuhudan.
Dan kezuhudan merupakan jalan menuju pada ketawakalan. (Al-Jauzi, tt : 336)
Tawakal merupakan suatu hal yang sangat
diperhatikan dalam Islam. Oleh karena itulah, kita dapat melihat, banyak sekali
ayat-ayat ataupun hadits-hadits yang memiliki muatan mengenai tawakal kepada
Allah SWT. Demikian juga para salafus shaleh, juga sangat memperhatikan masalah
ini. Sehingga mereka memiliki ungkapan-ungkapan khusus mengenai tawakal.
Derajat Tawakal
Tawakal
merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi satu, dimana tawakal tidak dapat
terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur ini juga
merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:
- Derajat pertama dari tawakal adalah : Ma’rifat kepada Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
- Derajat tawakal yang kedua adalah : Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana denan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
- Derajat Tawakal yang ketiga adalah : Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah SWT. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan-kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya.
- Derajat tawakal yang keempat adalah : Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah SWT, dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah SWT.
- Derajat tawakal yang kelimana adalah : Husnudzan (baca ; berbaik sangka) terhadap Allah SWT. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.
- Derajat Tawakal yang keeman adalah : Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah SWT. Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
- Derajat tawakal yang ketujuh yaitu : Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. Allah SWT berfirman: (QS. 40 : 44)
وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Dan
aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya".
Seorang hamba yang menyerahkan segala urusannya
kepada Allah, maka ia tidak akan berbuat melainkan dengan perbuatan yang sesuai
dengan kehendak Allah. Karena dia yakin, bahwa Allah tidak akan menetapkan
sesuatu kecuali yang terbaik bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat.
Tawakal Dalam
Al-Qur’an
Al-Qur’an sangat
menaruh perhatian terhadap permasalahan tawakal ini. Sehingga kita jumpai cukup
banyak ayat-ayat yang secara langsung menggunakan kata yang berasal dari kata
tawakal. Berdasarkan pencarian yang dilakukan dari CD ROM Al-Qur’an, kita
mendapatkan bahwa setidaknya terdapat 70 kali, kata tawakal disebut oleh Allah
dalam Al-Qur’an. Jika disimpulkan ayat-ayat tersebut mencakup tema berikut:
1. Tawakal
merupakan perintah Allah SWT.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 8 : 61)
وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Lihat juga QS.11:123, 25:58, 26:217, 27:79,
33:3, 33:48,
2. Larangan
bertawakal selain kepada Allah (menjadikan selain Allah sebagai penolong)
Allah berfirman (QS. 17:2)
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ
هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلاَّ تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلاً
Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat)
dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman):
"Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku,
3. Orang yang
beriman; hanya kepada Allah lah ia bertawakal.
Allah berfirman (QS. 3 : 122) :
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Dan hanya kepada Allahlah, hendaknya
orang-orang mu’min bertawakal.
Lihat juga QS.3:160, 5:11, 5:23, 7:89, 8:2,
9:51, 58:10, 64:13.
4. Tawakal harus
senantiasa mengiringi suatu azam (baca; keingingan/ ambisi positif yang kuat)
Allah berfirman (QS. 3 : 159)
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
5. Allah
sebaik-baik tempat untuk menggantungkan tawakal (pelindung)
Allah berfirman (QS. 3: 173)
وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيلُ
“Dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah
menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."
Lihat juga QS.4:81, 4:109, 4:132, 4:171.
6. Akan
mendapatkan perlindungan, pertolongan dan anugrah dari Allah.
Allah berfirman (QS. 8 : 49):
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ
اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah,
maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Lihat juga QS.17:65.
7. Mendapatkan
kebaikan di dunia dan di akhirat (surga)
Allah berfirman (QS. 16: 41-42):
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ
مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأَجْرُ الآخِرَةِ
أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ*
الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah
sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada
mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau
mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja
mereka bertawakkal.
Lihat juga QS.29:58-59.
8. Allah akan
mencukupkan orang yang bertawakal kepada-Nya.
Allah berfirman (QS. 65:3):
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَنْ
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ
جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.
Tawakal Dalam
Hadits
Selain dalam
Al-Qur’an, dalam haditspun, tawakal memiliki porsi yang sangat banyak. Dalam
kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 11 hadits. Sedangkan
pelacakan melalui CD ROM, kita mendapatkan terdapat sekitar 900 an hadits yang
terdapat kata yang berasal dari kata tawakal. (Dari 9 kitab hadits induk, yaitu
Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Timidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Addarimi,
Muwatha’ Malik dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal.) Sebelas hadits yang
dicantumkan Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin, telah mencakup sebagaian besar
hadits-hadits tentang tawakal. Dari hadits-hadits tentang tawakal ini, kita
dapat menyimpulkan beberpa poin :
1. Orang yang
bertawakal hanya kepada Allah, akan masuk ke dalam surga tanpa hisab.
Dalam hadits
Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ فَرَأَيْتُ
النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ
وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ
أَنَّهُمْ أُمَّتِي فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقَوْمُهُ وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ
فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ الآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي
هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ
حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ
فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا
فِي الإِسْلاَمِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللَّهِ وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَخَرَجَ
عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا
الَّذِي تَخُوضُونَ فِيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمْ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ
وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي
مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ
أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah
bin Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat
yang dahulu, hingga saya melihat seorang nabi dengan rombongan yang kecil, dan
ada nabi yang mempunyai penigkut satu dua orang, bahkan ada nabi yang tiada
pengikutnya. Mendadak telihat padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali),
saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah nabi
Musa as beserta kaumnya. Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan
dan kirimu, tiba-tiba di sana
saya melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah
umatmu, dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu yang masuk surga tanpa
perhingungan (hisab). Setelah itu nabi bangun dan masuk ke rumahnya, sehingga
orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga
tanpa hisab itu. Ada
yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Ada pula yang berpendapat,
mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah,
dan ada juga pendapt-pendapat lain yang mereka sebut. Kemudian Rasulullah SAW
keluar menemui mereka dan bertanya, ‘apakah yang sedang kalian bicarakan?’.
Mereka memberiktahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘ Mereka
tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan
perantaraan burung, dan hanya kepada Rab nya lah, mereka bertawakal.” Lalu
bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Ya Rasulullah SAW doakanlah aku supaya
masuk dalam golongan mereka.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Engkau termasuk
golongan mereka.’ Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata, ‘doakan saja
juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.’ Rasulullah SAW
menjawab, ‘Engkau telah didahului oleh Ukasyah.” (HR. Bukhari & Muslim).
2. Tawakal
merupakan sunnah Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW
sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya kepada Allah SWT. Salah satu
contohnya adalah bahwa beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai ketawakalan dirinya
kepada Allah SWT:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ
وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي
أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ (رواه
مسلم)
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW
senantiasa berdoa, ‘Ya Allah hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya
kepada-Mulah aku beriman, hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah
aku bertaubat, hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku
berlindung dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah
Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin
dan manusia mati. (HR. Muslim)
3. Allah
merupakan sebaik-baik tempat untuk bertawakal.
Dalam hadits
Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ
النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal
Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap,
dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang
kafir, supaya takut kepada mereka ; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan
segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah
melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa
ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai
tempat kami bertawakal.” (HR. Bukhari)
4. Tawakal akan
mendatangkan nasrullah.
Sebagaimana yang
terdapat dalam hadits no 5, dalam kitab Riyadhus Shalihin. Dimana dikisahkan
pada saat perang Dzatur riqa’, ketika Rasulullah SAW sedang beristirahat di
bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika
tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata,
siapa yang dapat melindungimu dariku?. Namun dengan sangat tenang Rasulullah
SAW menjawab Allah. Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang
dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah SAW mengambil pedang tersebut seraya
bertanya, sekarang siapakah yang dapat melindungimu dari ku?
5.
Tawakal yang benar tidak akan menjadikan seseorang kelaparan.
Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّكُمْ
تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ
الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا (رواه الترمذي)
Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda,’sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang
sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rizki kepada kalian
sebagaimana Allah memberi rizki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam
keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang. (HR.
Tirmidzi)
6. Tawakal
adalah setelah usaha.
Dalam sebuah
hadits diriwayatkan:
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَجُلٌ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ
قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ (رواه الترمذي)
Dari Anas bin Malik ra, ada seseorang berkata
kepada Rasulullah SAW. ‘Wahai Rasulullah SAW, aku ikat kendaraanku lalu aku
bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?’ Rasulullah SAW menjawab,
‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)
Penutup
Tawakal yang
merupakan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW, jika dilakukan dengan baik
dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan
tidak memiliki apa-apa. Karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang
tidak beralasan. Namun tawakal harus terlebih dahulu didahului dengan adanya
usaha yang maksiman. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari tawakal
itu.
Oleh kerananya,
marilah kita meningkatkan rasa tawakal kita kepada Allah, dengan memperbanyak
unsur-unsur yang merupakan derajat dalam ketawkalan ke dalam diri kita.
Sehingga kitapun dapat masuk ke dalam surga Allah tanpa adanya hisab,
sebagaimana yang dikisahkan dalam hadits di atas. Amin.
Wallahu A’lam
Rikza
Maulan, Lc., M.Ag.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi saw. bersabda, "Ada tiga cara pengobatan: Berbekam, minum
madu atau dengan kay dan aku melarang umatku melakukan kay," (HR Bukhari
[5671]).
Diriwayatkan
dari Jabi bin Abdullan, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah saw.
bersabda, 'Apabila ada kebaikan dalam pengobatan yang kalian lakukan maka
kebaikan itu ada pada berbekam, minum madu, membakar dengan api akan tetapi aku
tidak suka berobat dengan cara kay'," (HR Bukhari [5702] dan Muslim
[2205]).
Diriwayatkan
dari al-Mughirah bin Syu'bah r.a, dari Nabi saw. beliau bersabda,
"Barangsiapa melakukan pengobatan dengan cara kay atau meminta untuk
diruqyah berarti ia tidak bertawakal," (Shahih, HR at-Tirmidzi [2055] dan
Ibnu Majah [3489]).
Kandungan Bab:
Makruh melakukan
pengobatan dengan cara kay karena mengandung penyiksaan dengan menggunakan api
dan bertentangan dengan sikap tawakal. Salah satu sifat dari orang-orang yang
masuk surga tanpa hisab mereka tidak melakukan pengobatan dengan cara kay
sebagaimana yang tercantum dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim.
Pengobatan
pamungkas adalah dengan cara kay. Oleh karena itu Rasulullah saw.
menyebutkannya sebagai obat, karena beliau melakukannya jika terapi dengan
meminum obat tidak mengurangi penyakit. Menjadikan kay sebaga cara pengobatan
yang terakhir hingga terpaksa menggunakan kay dan tidak tergesa-gesa melakukan
pengobatan dengan cara ini. Wallahu a'lam.
Sumber:
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii
Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan
As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm.
3/202-204.
terima kasih banyak informasinya
BalasHapus