Oleh : J. Soedradjad Djiwandono
Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia
Dunia telah berubah
Tanggal 8 Oktober, A.S dan Inggris mulai melancarkan serangan militer terhadap Afganistan. Serangan ini merupakan konsekuensi pernyataan Presiden George W. Bush yang melihat aksi teror 11 September sebagai tindakan perang terhadap A.S. Serangan militer tersebut merupakan bagian dari operasi dalam perang melawan terorisme yang juga menyangkut deplomasi, intel dan keuangan.
Aksi teror terhadap World Trade Center New York (WTC) dan Pentagon bulan lalu disamakan dengan kejadian penyerangan Jepang di Pearl Harbour yang menyeret A.S. ke dalam kancah Perang Dunia II. Orang hanya berharap agar perang sekarang ini tidak akan berakhir seperti Perang Dunia II dengan tragedi Hiroshima dan Nagasaki.
Sebagai suatu aksi teror apa yang terjadi hampir sebulan lalu itu memang luar biasa kedahsyatan dampak yang ditimbulkannya. Dalam masalah korban jiwa, satu orangpun tidak boleh terjadi. Di sini kita berbicara mengenai korban jiwa sekitar enam ribuan yang berasal dari 80 kewarganegaraan yang berbeda.
Dalam arti materi orang tidak dapat membayangkan bagaimana aksi dari sejumlah pembajak pesawat terbang dengan bersenjatakan alat sederhana dan anggaran yang kecil - perkiraan keseluruhan biaya antara USD 200 ribu - USD 500 ribu --telah menimbulkan malapetaka yang merubah dunia. Rasanya sulit dibayangkan bahwa untuk memindahkan puing-puing reruntuhan bekas menara kembar WTC New York, sekitar 1,2 juta ton sendiri, akan menelan biaya USD 8 milyar.
Dalam pada itu, kerugian yang timbul pada kehidupan ekonomi, perdagangan dan keuangan dunia terus berjalan. Di A.S. dalam satu minggu setelah kejadian tersebut berbagai maskapai penerbangan serta industri pesawat terbang Boeing langsung terkena. Hal ini diikuti dengan penghentian hubungan kerja terhadap lebih dari 100.000 karyawan/wati perusahaan-perusahaan tersebut. Penurunan kegiatan usaha langsung nampak dan diperkirakan meningkat pada sektor-sektor yang terkait dengan penerbangan, wisata, keuangan, yang kemudianmerembet ke sektor-sektor lain.
Kerugian luar biasa terjadi pada pasar modal yang berpusat di Wall Street, hanya lima menit jarak perjalanan dari gedung kembar WTC New York, yang telah menjadi tempat kuburan masal tersebut.
Baik jatuhnya pasar modal maupun kerugian maskapai penerbangan A.S. langsung dirasakan gemanya di seluruh dunia. Berbagai perusahaan penerbangan Eropa ( British
Airways, Lufthansa, Air Lingus) dan Asia-Pasifik (JAL, ANA, Anzet, bahkan SQ) mengalami penurunan jumlah penumbang yang sangat merugikan. Penuruanan penumpang sampai mendekati 30 per sen diperkirkan untuk banyak perusahaan penerbangan.
Dunia juga dikejutkan dengan Swissair menghentikan semua penerbangannya dan diberitakan melakukan upaya untuk melindungi diri terhadap kreditor seperti kebiasaan perusahaan yang menghadapi kebangkrutan. Pemerintah Swiss melakukan tindakan penyelamatan dan Swissair terbang kembali. Tetapi bagaimana penyelesaiannya masih belum diketahui.
Dampak pada pasar modal di seluruh dunia juga mengkhawatirkan. Bahkan kebanyakan indeks saham di pasar modal Asia telah menurun antara 3 sampai 6 per sen, dan di Eropa dengan penurunan yang lebihkecil, sebelum New York Stock Exchange (NYSE) dan Nasdaq dibuka kembali. Pada waktu NYSE dibuka kembali terjadi penurunan indeks saham yang terbesar sepanjang sejarah Wall Street dengan kerugian sangat besar yang menyertainya.
Dengan dimulainya serangan A.S dan Inggris terhadap Afganistan, kekhawatiran mengenai menigkatnya ketidak pastian dan dampaknya terhadap perekonomian dunia menjadi lebih nyata. Meskipun perang biasanya berkaitan dengan peningkatan pengeluaran yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi kerusakan yang ditimbulkan, gangguan terhadap kegiatan ekonomi dunia dan ketidak pastian yang mengikutinya jelas akan terjadi. Semua ini akan mempersulit upaya pemulihan ekonomi negara-negara yang terkena krisis Asia, termasuk Indonesia.
Nasib Rupiah
Dampak yang dirasakan di sektor ekonomi-keuangan ini langsung mempengaruhi nilai tukar mata uang, termasuk rupiah. Pada minggu pertama bulan Oktober ini kebanyakan mata uang di Asia mengalami penurunan nilai tukarnya terhadap USD, kecuali mata uang yang dipatok nilainya secara tetap, seperti ringgit Malaysia dan dollar Hong Kong.
Kalau dibandingkan dengan akhir tahun lalu nilai tukar berbagai mata uang Asia terhadap USD semuanya mengalami penurunan; yen denngan 4.8%, dollar Singapore 2,01%, dollarTaiwan 4,82%, won Korean 1,69%, baht 2,025 dan rupiah 4,82%. Penurunan nilai tukar rupiah adalah yang paling tajam, apalagi hari-hari terjadi terakhir ini. Dalam nilai nomiunalnya USD pada hari-hari ini telah melebihi sepuluh ribu rupiah.
Mengapa rupiah yang menguat sangat meyakinkan pada pergantian pemerintahan dan beberapa waktu mulai bekerjanya Kabinet Gotong Royong serta langkah-langkah cantik dari pemerintahan baru ini memudar dalam waktu singkat? Akankah kita mengalami euphoria yang cepat menghilang seperti yang terjadi dengan pergantian pemerintahan sebelumnya? Kita semua berharap jangan.
Kinerja pemerintahan Indonesia memang tidak hanya ditentukan oleh perkembangan nilai rupiah. Tetapi nasib rupiah tentu ada ketergantungannya dengan kebijakan pemerintah yang dianut. Dalam keprihatinan menghadapi dampak teror dan implikasinya pada kelesuan ekonomi, dunia usaha Indonesia telah mengajukan permintaan proteksi kepada pemerintah. Selain itu juga banyak diusulkan agar Bank Indonesia menurunkan suku bunga untuk mendorong kegiatan dunia usaha.
Menghadapi kembali melemahnya rupiah dan tuntutan pemberian proteksi serta penurunan suku bunga, Menkeu Budiono mengatakan bahwa tindakan moneter dengan penurunan suku bunga maupun proteksi tidak perlu dilakukan. Nilai rupiah akan stabil kembali dan suku bunga akan menurun setelah kepercayaan masyarakat kembali pulih.
Keterbatasan kebijakan moneter
Saya kira dunia usaha dan masyarakat memang perlu mendalami masalah yang dihadapi dan kondisi yang melatar belakangi kegiatan ekonomi maupun penyelenggaraan kebijakan emonomi makro. Dalam hubungan ini mungkin ada gunanya kita menyimak bersama analisis mengenai bagaimana penyelenggaraan kebijakan ekonomi di negara-negara lain.
Baru-baru ini ekonom kenamaan Professor Paul Krugman yang sekarang mengajar di Universitas Princeton membuat uraian dalam suatu tulisan di New York Times, 30/9/01, mengenai keterbatasan kebijakan moneter untuk mengatasi masalah perekonomian A.S.
Diingingatkannya bahwa kelesuan ekonomi dapat dihadapi dengan dua macam kebijakan; yang mempengaruhi sisi permintaan dan sisi penawaran. Kelesuan permintaan masyarakat dapat diobati dengan mendorongnya melalui kebijakan moneter, yaitu pengendoran likuiditas dengan menurunkan suku bunga. Penurunan suku bunga akan mendorong pengeluaran masyarakat untuk konsumsi dan investasi, yang kemudian dapat mendorong perekonomian untuk tumbuh kembali. Kebijakan tersebut dapat diganti atau dibantu dengan kebijakan fiskal melalui penurunan pajak atau peningkatan pengeluaran pemerintah. Untuk mempengaruhi sisi produksi atau penawaran kebijakan dilakukan dengan mendorong peningkatan investasi.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana efektifitas langkah tersebut dalam pencapaian tujuannya mendorong permintaan dan pertumbuhan ekonomi. Ada kalanya kebijakan penurunan suku bunga tidak mampu mendorong permintaan masyarakat. Secara teoritis, analisis ekonomi Keynes menunjukkan kemungkinan adanya keadaan dimana kebijakan moneter tidak dapat mendorong permintaan masyarakat, dengan demikian pertumbuhan ekonomi. Keadaan tersebut disebut dengan istilah liquidity trap. Ini adalah suatu kondisi perrekonomian di mana pengeluaran untuk konsumsi dan investasi tidak sensitif terhadap perkembangan suku bunga.
Perekonomian Jepang dalam tahun-tahun terakhir ini menyerupai kasus liquidity trap tersebut. Suku bunga di Jepang sudah mendekati atau sama dengan nol persen. Karena itu upaya menurunkan suku bunga untuk mendorong permintaan masyarakat nyaris tidak ada gunanya. Beberapa waktu yang lalu karena tidak mungkin lagi menurunkan suku bunga, bank sentral Jepang memberikan dorongan kepada permintaan masyarakat dengan menambah uang beredar secara langsung. Tindakan ini tidak memberikan dorongan kepada perekonomiannya untuk bergerak.
Kekuatiran yang dikemukakan professor Krugman adalah adanya kemungkinan bahwa apa yang dilakukan Ketua Fedres Alan Greenspan dengan penurunan suku bunga mempunyai nasib seperti yang terjadi di Jepang. Saya kira kekhawatiran ini bukan sesuatu yang mengada-ada. Dalam satu tahun terakhir Ketua Greenspan sudah sembilan kali menurunkan suku bunga, termasuk dua kali sejak terjadi serangan teroris 11 September. Dewasa ini suku bunga antar bank atau Fedrate sebesar 2,5%, yang dalam arti riilnya sudah negatif, merupakan suku bunga terendah sejak tahun empat puluhan.
Apakah dorongan moneter tersebut akan menolong ekonomi A.S. melawan kelesuan resesi? Saya khawatir tidak. Bahkan tindakan menurunkan suku bunga oleh orang yang paling dipercaya mengelola ekonomi A.S. ini nampaknya tidak mencapai sasaran. Kalau penurunan suku bunga yang telah dilakukan tujuh kali sebelum September dimaksudkan untuk mendorong pulihnya indeks saham Dow Jones dan Nasdaq, usaha tersebut tidak berhasil.
Pada pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia di Hong Kong, September 1997, saya menanyakan ke pada Ketua Greenspan dalam suatu pertemuan mengenai pernilaiannya terhadap perkembangan pasar modal yang menunjukkan gejala memanas (bubbling) waktu itu. Saya menyatakan keheranan saya terhadap sikapnya yang menyuarakan kekhawatiran terhadap perkembangan pasar modal pada waktu indeks saham 'baru' mencapai enam ribuan tahun 1996, dengan istilah beliau yang menjadi sangat terkenal, irrational exhuberance. Sedangkan dalam tahun 1997, di kala indeks Dow Jones 'telah' mencapai lebih dari delapan ribu, beliau tidak nampak khawatir lagi. Seperti biasanya, beliau sangat hati-hati dalam membuat pernyataannya menaggapi pertanyaan saya, sehingga sebetulnya tidak memberikan jawaban yang saya inginkan. Saya hanya mencatat bahwa saat tersebut sebenarnya Alan Greenspan menjadi percaya kepada pilar baru dalam fundamental ekonomi, yaitu berkembangnya secara pesat apa yang dinamakan new economics yang sarat dengan e-commerce, yang berkaitan dengan perkembangan Nasdaq.
Indeks Dow Jones yang pernah sampai sekitar di atas lima belas ribu beberapa tahun lalu mulai menurun sejak akhir tahun 2000. Perkembangan terakhir, sejak NYSE dibuka kembali setelah 11 September indeks Dow Jones ada dibawah sembilan ribu. Setelah membaik kembali indeks tersebut berada pada sekitar 6 % dibawah tingkat sebelum teror terjadi.
Salah satu angka perkiraan menunjukkan bahwa kerugian yang terjadi dengan penurunan indeks saham tersebut mencapai sekitar satu trilyun dollar. Dengan sekitar 40% dari keluarga di A.S. dewasa ini menanam uangnya pada pasar modal, penurunan pendapatan karena kerugian tersebut meluas di masyarakat dengan implikasi menurunnya konsumsi serta investasi masyarakat yang berarti menurunnya pertumbuhan ekonomi.
Mengapa penurunan suku bunga di A.S. nampaknya tidak mempunyai daya dongkrak meningkatkan indeks saham? Mungkin terlalu berani untuk menyebutkan bahwa perekonomian A.S. ada dalam suatu liquidity trap. Akan tetapi bahwa tindakan menurunkan suku bunga tersebut tidak efektif nampaknya sukar dibantah. Beberapa waktu yang lalu International Herald Tribune (IHT, 5/10) memuat editorial New York Times yang mulai meragukan efektifitas dari kebijakan penurunan suku bunga di A.S.
Memang agak mengherankan bahwa usaha mendorong kegairahan pasar modal ini tidak menampakkan hasil. Yang nampak terdorong hanyalah permintaan terhadap perumahan karena menurunnya suku bunga mortgage. Tentu jawaban yang dapat diberikan adalah, seandainya penurunan suku bunga tersebut tidak dilakukan mungkin NYSE sudah jatuh tanpa bantuan aksi teroris.
Serangan teroris 11 September ini menjadi sangat dahsyat karena terjadi pada waktu ekonomi A.S sedang dalam keadaan lemah. Menjelang terjadinya serangan teroris, kepercayaan konsumen yang diukur dengan Consumers' Confidence Index susunan Universitas Michigan, Ann Arbor, ternyata sedang berada pada titik yang terendah dalam delapan tahun terakhir. Jadi pada waktu kepercayaan masyarakat sedang sangat rendah telah terjadi tekanan dahsyat yang menyebabkan seolah-olah pasar modal menjadi lumpuh. Ini mungkin yang menjelaskan mengapa tindakan moneter dengan penurunan suku bunga tidak mempan memberikan dorongan masyarakat A.S. untuk meningkatkan pengeluaran masyarakat. Perekonomian A.S. sebelum aksi teroris sudah diambang kondisi resesi.
Ini yang juga menjelaskan mengapa pada waktu keadaan yang oleh Presiden Bush disebut sebagai 'perang', pemerintah A.S justru menganjurkan masyarakat agar kembali melakukan kegiatan normalnya, banyak bepergian, banyak berbelanja, pergi ke tempat-tempat entertaintment, makan di restoran, dsb. Dalam perang yang konvensional, masyarakat biasanya diminta untuk berhemat, menabung untuk menaggung biaya perang.
Pemerintah A.S. telah melakukan tindakan mendorong permintaan masyarakat dengan meningkatkan pengeluaran dan pemangkasan pajak. Presiden Bush berbicara mengenai program pemberian dorongan ekonomi sebesar USD 75 milyar. Sebelumnya Ketua Greenspan dan Menkeu Paul O'Neil telah berbicara mengenai program untuk mendorong perekonomian masyarakat secara besar dengan nilai sekitar USD 100 milyar.
Jadi yang dilakukan tidak hanya melakukan penurunan suku bunga sampai demikian rendah, akan tetapi juga meningkatkan pengeluaran langsung. Sayangnya, inipun belum tentu menyelamatkan ekonomi A.S. dari resesi. Mungkin hanya akan mempercepat pemulihannya.
Tambahan kendala
Mengapa di Indonesia tidak dilakukan penurunan suku bunga seperti yang dilakukan A.S? Mengapa tidak dilakukan peningkatan pengeluaran APBN untuk mendorong ekonomi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan, tidak hanya karena tuntutan dunia usaha, tetapi mengingat kecenderungan melemahnya perekonomian nasional sebagai akibat dari kelesuan ekonomi dunia. Apalagi kalau diikuti pemberitaan di media (Reuters, 3/10) yang menyebutkan bahwa negara-negara di Asia kebanyakan sudah bersiap-siap untuk mengikuti apa yang dilakukan Fedres, menurunkan suku bunga dan tindakan pemerintah berbagai negara memberikan dorongan fiskal.
Penurunan suku bunga di Indonesia untuk mendorong permintaan investasi dan konsumsi masyarakat menghadapi dampak kelesuan karena implikasi dari penurunan ekonomi dunia memang tidak semudah disangkakan orang. Tentunya alasannya bukan hanya karena 'takut' kepada IMF hingga Bank Indonesia tidak cepat-cepat menurunkan suku bunga, atau Menkeu memberikan jawaban seperti disingung di atas. Tetapi mengapa?
Dalam kondisi yang ditunjukkan di atas, penurunan suku bunga tidak mempan memberikan dorongan menumbuhkan kegiatan ekonomi, nampaknya karena adanya liquidity trap. Untuk Indonesia, ada kendala yang lebih membatasi lagi. Penurunan suku bunga ditakutkan akan memperlemah lebih lanjut nilai tukar rupiah. Dan penurunan nilai tukar akan otomatis menganulir daya dorong dari sektor moneter terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam aspek praktisnya, mempertahankan keketatan likuiditas untuk kestabilan nilai tukar tersebut secara eksplisit disebutkan di dalam kesepakatan Pemerintah dengan IMF. Dengan demikian secara teknis memang ada kendala yang mengikat
Kendala untuk penurunan suku bunga bukan karena Indonesia ada di dalam liquidity trap, tetapi karena instrumen ini diperlukan untuk mempertahankan kestabilan rupiah. Permasalahan efektifitas penggunaan suku bunga untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar mirip dengan permsalahan efektifitas penurunan suku bunga untuk memerangi kecenderungan turunnya indeks saham.
Di atas digambarkan tidak mempannya pemberian dorongan ekonomi dengan penurunan suku bunga di A.S. dan Jepang. Bagaimana dengan efektifitas peningkatan suku bunga untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar?
Kebijakan pengetatan likuiditas dengan meningkatkan suku bunga sangat tinggi ini sangat berhasil dilakukan, misalnya di Hong Kong bulan Okober 1997. Pada waktu perekonomiannya menghadapi tekanan berat dari ulah spekulan di pasar moda yang membahayakan sistim nilai tukar tetap dollar Hong Kong, suku bunga antar bank di dorong naik sangat tinggi. Dollar Hong Kong diselamatkan, artinya otoritas moneternya tidak harus melakukan devaluasi, nilai tukarnya tidak berubah.
Akan tetapi tingkat suku bunga sangat tinggi tersebut hanya terjadi dalam waktu singkat, sekitar dua minggu. Setelah itu gangguan terhadap nilai tukar menghilang dan suku bunga turun kembali dengan cepat. Dalam keadaan ini laju pertumbuhan ekonominya tidak terpengaruh.
Pengalaman Indonesia meningkatkan suku bunga dan mempertahankan suku bunga tinggi untuk menopang kestabilan rupiah selama ini harus diakui belum sepenuhnya teruji kemanjurannya. Berbagai studi empiris menunjukkan bahwa peningkatan suku bunga tidak selalu efektif untuk mempertahankan nilai tukar mata uang. Ini memang membuat kebijakan moneter menjadi dilematis. Alur pemikirannya jelas bahwa masyarakat memerlukan rupiah untuk membeli dollar. Karena itu untuk mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dollar, dorongan membeli dollar dikurangi dengan mempertahankan suku bunga tinggi, atau memperketat likuiditas rupiah.
Di lain pihak, mempertahankan suku bunga tinggi dalam kurun waktu yang lama berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Suku bunga tinggi membatasi pengeluaran untuk investasi dan konsumsi, karena itu pertumbuhan ekonomi. Ekonomi yang mandeg menimbulkan banyak masalah.
Dilema yang timbul bukan karena tidak efektifnya kebijakan moneter ketat. Akan tetapi langkah meningkatkan suku bunga untuk menstabilkan nilai tukar, kalaupun efektif nampaknya terbatas hanya dalam jangka pendek saja. Dalam jangka panjang suku bunga yang tinggi langsung mempengaruhi secara negatif pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka panjang, ekonomi yang sekuat apapun tidak tahan terhadap suku bunga yang sangat tinggi.
Masalah yang dihadapi di sini adalah bagaimana agar instrumen jangka pendek ini tidak mengganggu sasaran jangka panjang. Kestabilan nilai tukar dalam jangka panjangnya tergantung kepada fundamental ekonomi dan kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap funamental tersebut. Suku bunga yang tinggi dapat efektif mempertahankan nilai tukar mata uang dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang basis kestabilan nilai tukar lebih mengacu ke pada kekuatan lain, kepercayaan pasar terhadap fundamental dan kemampuan pemerintah mengelola ekonomi makro. Suku bunga tinggi yang berlangsung lama bertentangan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kalau penurunan suku bunga sukar dilaksanakan, apakah bisa diganti dengan peningkatan pengeluaran anggaran, menginngat peningkatan pengeluaran anggaran akan mendorong kegiatan ekonomi? Masalahnya, cara ini juga menghadapi kendala yang rumit. APBN sekarang sudah mempunyai defisit yang cukup besar. Jadi peningkatan pengeluaran akan lebih membesarkan defisit lagi. Dampak peningkatan defisit pada perkembangan harga-harga atau laju inflasi tentu harus dijaga.
Sebenarnya defisit APBN yang ada bukan karena pengeluaran yang mendorong ekspansi kegiatan ekonomi. Tetapi karena pendanaan pembayaran kembali pinjaman yang sangat besar. Karena itu peningakatan pengeluaran yang akan menambah besarnya defisit APBN mungkin tidak harus membahayakan kestabilan harga. Akan tetapi besarnya defisit APBN pemerintah juga dibatasi oleh kesepakatan dengan IMF.
Dari gambaran singkat ini, instrumen moneter dan fiskal yang ada di dalam pendekatan ekonomi untuk kestabilan dan pertumbuhan nampaknya tidak tidak dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam kondisi sekarang ini. Ruang gerak kebijakan Pemerintah sangat sempit karena menghadapi kendala yang mengikat. Ini merupakan masalah yang perlu disadari IMF.
Menghadapi Dunia yang berubah
Akhir-akhir ini sudah menjadi klise untuk mengatakan bahwa dunia tidak akan sama lagi setelah terjadinya aksi teroris 11 September 2001. Saya menulis sebelum ini (Kompas, 19/9/01) bahwa tragedi yang terjadi telah merubah atau mengancam posisi A.S. sebagai negara adikuasa tunggal yang tidak mengenal ancama keamanan maupun sebagai sorga yang aman bagi investasi.
Perubahan yang terjadi nampaknya lebih dari itu. Kalau apa yang saya utarakan di atas benar, kita melihat bahwa kehebatan kebijakan moneter yang dimainkan sangat bagus oleh Fedres dibawah pimpinan Alan Greenspan mungkin tidak lagi efektif seperti sebelumnya. Tokoh yang dikenal percaya pada langkah-langkah kecil yang konsisten, bukan gebrakan spektakuler, nampaknya berubah. Ketua Greenspan telah percaya dan mendukung langkah stimulasi fiskal yang jumlahnya mencapai USD 100 milyar.
Apakah Ketua Greenspan meninggalkan kepercayaannya terhadap langkah moneter dan beralih ke instrumen fiskal? Langkah-langkah kecil dirubah menjadi gebrakan besar? Saya kira tidak. Pendekatannya yang bersifat eklektis dalam bahasa terangnya adalah pragmatis. Dia melihat kondisi baru telah menuntut langkah baru, sebagaimana dia menerima peningkatan indeks Dow Jones dan Nasdaq sampai sangat tinggi tanpa mengulang menyebutkannya sebagai irrational exhuberance.
Teror 11 September nampaknya juga merubah kebijakan pemerintah A.S. secara fundamental. Financial Times, 6/10/01 menurunkan tulisan yang menunjukkan perubahan kebijakan A.S. tersebut. Dalam waktu singkat, presiden yang berasal dari Partai Republik yang tidak hanya akkrab dengan filsafat ekonomi pasar, tetapi mewarisi kebijakan yang selama satu dasawarsa cenderung demikian, tiba-tiba berubah. Presiden George W. Bush meminta otorisasi Kongres untuk mengadakan pengeluaran sangat besar untuk keperluan rehabilitasi kerusakan aksi teroris, untuk penyelamatan (bail out) beberapa perusahaan penerbangan dan untuk paket dorongan fiskal sebesar USD 75 milyar. Nampaknya tradisi konservatisme Milton Friedman yang tidak percaya pada kebijakan diskresi pemerintah dalam perekonomian telah diganti dengan intervensi a la John Maynard Keynes.
Ada yang bilang kondisi yang luar biasa menuntut kebijakan yang luar biasa pula. Kebijakan pengendalian makro Indonesia nampaknya menghadapi kondisi yang luar biasa. Apakah IMF yang nampaknya mengusulkan perlunya stimulasi domestik bagi ekonomi Indonesia menyadari bahwa ruang gerak kebijakan ekonomi untuk itu hampir tidak dimungkinkan karena dibatasi oleh persyaratan yang dituntutnya?
Sebagai suatu aksi teror apa yang terjadi hampir sebulan lalu itu memang luar biasa kedahsyatan dampak yang ditimbulkannya. Dalam masalah korban jiwa, satu orangpun tidak boleh terjadi. Di sini kita berbicara mengenai korban jiwa sekitar enam ribuan yang berasal dari 80 kewarganegaraan yang berbeda.
Dalam arti materi orang tidak dapat membayangkan bagaimana aksi dari sejumlah pembajak pesawat terbang dengan bersenjatakan alat sederhana dan anggaran yang kecil - perkiraan keseluruhan biaya antara USD 200 ribu - USD 500 ribu --telah menimbulkan malapetaka yang merubah dunia. Rasanya sulit dibayangkan bahwa untuk memindahkan puing-puing reruntuhan bekas menara kembar WTC New York, sekitar 1,2 juta ton sendiri, akan menelan biaya USD 8 milyar.
Dalam pada itu, kerugian yang timbul pada kehidupan ekonomi, perdagangan dan keuangan dunia terus berjalan. Di A.S. dalam satu minggu setelah kejadian tersebut berbagai maskapai penerbangan serta industri pesawat terbang Boeing langsung terkena. Hal ini diikuti dengan penghentian hubungan kerja terhadap lebih dari 100.000 karyawan/wati perusahaan-perusahaan tersebut. Penurunan kegiatan usaha langsung nampak dan diperkirakan meningkat pada sektor-sektor yang terkait dengan penerbangan, wisata, keuangan, yang kemudianmerembet ke sektor-sektor lain.
Kerugian luar biasa terjadi pada pasar modal yang berpusat di Wall Street, hanya lima menit jarak perjalanan dari gedung kembar WTC New York, yang telah menjadi tempat kuburan masal tersebut.
Baik jatuhnya pasar modal maupun kerugian maskapai penerbangan A.S. langsung dirasakan gemanya di seluruh dunia. Berbagai perusahaan penerbangan Eropa ( British
Airways, Lufthansa, Air Lingus) dan Asia-Pasifik (JAL, ANA, Anzet, bahkan SQ) mengalami penurunan jumlah penumbang yang sangat merugikan. Penuruanan penumpang sampai mendekati 30 per sen diperkirkan untuk banyak perusahaan penerbangan.
Dunia juga dikejutkan dengan Swissair menghentikan semua penerbangannya dan diberitakan melakukan upaya untuk melindungi diri terhadap kreditor seperti kebiasaan perusahaan yang menghadapi kebangkrutan. Pemerintah Swiss melakukan tindakan penyelamatan dan Swissair terbang kembali. Tetapi bagaimana penyelesaiannya masih belum diketahui.
Dampak pada pasar modal di seluruh dunia juga mengkhawatirkan. Bahkan kebanyakan indeks saham di pasar modal Asia telah menurun antara 3 sampai 6 per sen, dan di Eropa dengan penurunan yang lebihkecil, sebelum New York Stock Exchange (NYSE) dan Nasdaq dibuka kembali. Pada waktu NYSE dibuka kembali terjadi penurunan indeks saham yang terbesar sepanjang sejarah Wall Street dengan kerugian sangat besar yang menyertainya.
Dengan dimulainya serangan A.S dan Inggris terhadap Afganistan, kekhawatiran mengenai menigkatnya ketidak pastian dan dampaknya terhadap perekonomian dunia menjadi lebih nyata. Meskipun perang biasanya berkaitan dengan peningkatan pengeluaran yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi kerusakan yang ditimbulkan, gangguan terhadap kegiatan ekonomi dunia dan ketidak pastian yang mengikutinya jelas akan terjadi. Semua ini akan mempersulit upaya pemulihan ekonomi negara-negara yang terkena krisis Asia, termasuk Indonesia.
Nasib Rupiah
Dampak yang dirasakan di sektor ekonomi-keuangan ini langsung mempengaruhi nilai tukar mata uang, termasuk rupiah. Pada minggu pertama bulan Oktober ini kebanyakan mata uang di Asia mengalami penurunan nilai tukarnya terhadap USD, kecuali mata uang yang dipatok nilainya secara tetap, seperti ringgit Malaysia dan dollar Hong Kong.
Kalau dibandingkan dengan akhir tahun lalu nilai tukar berbagai mata uang Asia terhadap USD semuanya mengalami penurunan; yen denngan 4.8%, dollar Singapore 2,01%, dollarTaiwan 4,82%, won Korean 1,69%, baht 2,025 dan rupiah 4,82%. Penurunan nilai tukar rupiah adalah yang paling tajam, apalagi hari-hari terjadi terakhir ini. Dalam nilai nomiunalnya USD pada hari-hari ini telah melebihi sepuluh ribu rupiah.
Mengapa rupiah yang menguat sangat meyakinkan pada pergantian pemerintahan dan beberapa waktu mulai bekerjanya Kabinet Gotong Royong serta langkah-langkah cantik dari pemerintahan baru ini memudar dalam waktu singkat? Akankah kita mengalami euphoria yang cepat menghilang seperti yang terjadi dengan pergantian pemerintahan sebelumnya? Kita semua berharap jangan.
Kinerja pemerintahan Indonesia memang tidak hanya ditentukan oleh perkembangan nilai rupiah. Tetapi nasib rupiah tentu ada ketergantungannya dengan kebijakan pemerintah yang dianut. Dalam keprihatinan menghadapi dampak teror dan implikasinya pada kelesuan ekonomi, dunia usaha Indonesia telah mengajukan permintaan proteksi kepada pemerintah. Selain itu juga banyak diusulkan agar Bank Indonesia menurunkan suku bunga untuk mendorong kegiatan dunia usaha.
Menghadapi kembali melemahnya rupiah dan tuntutan pemberian proteksi serta penurunan suku bunga, Menkeu Budiono mengatakan bahwa tindakan moneter dengan penurunan suku bunga maupun proteksi tidak perlu dilakukan. Nilai rupiah akan stabil kembali dan suku bunga akan menurun setelah kepercayaan masyarakat kembali pulih.
Keterbatasan kebijakan moneter
Saya kira dunia usaha dan masyarakat memang perlu mendalami masalah yang dihadapi dan kondisi yang melatar belakangi kegiatan ekonomi maupun penyelenggaraan kebijakan emonomi makro. Dalam hubungan ini mungkin ada gunanya kita menyimak bersama analisis mengenai bagaimana penyelenggaraan kebijakan ekonomi di negara-negara lain.
Baru-baru ini ekonom kenamaan Professor Paul Krugman yang sekarang mengajar di Universitas Princeton membuat uraian dalam suatu tulisan di New York Times, 30/9/01, mengenai keterbatasan kebijakan moneter untuk mengatasi masalah perekonomian A.S.
Diingingatkannya bahwa kelesuan ekonomi dapat dihadapi dengan dua macam kebijakan; yang mempengaruhi sisi permintaan dan sisi penawaran. Kelesuan permintaan masyarakat dapat diobati dengan mendorongnya melalui kebijakan moneter, yaitu pengendoran likuiditas dengan menurunkan suku bunga. Penurunan suku bunga akan mendorong pengeluaran masyarakat untuk konsumsi dan investasi, yang kemudian dapat mendorong perekonomian untuk tumbuh kembali. Kebijakan tersebut dapat diganti atau dibantu dengan kebijakan fiskal melalui penurunan pajak atau peningkatan pengeluaran pemerintah. Untuk mempengaruhi sisi produksi atau penawaran kebijakan dilakukan dengan mendorong peningkatan investasi.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana efektifitas langkah tersebut dalam pencapaian tujuannya mendorong permintaan dan pertumbuhan ekonomi. Ada kalanya kebijakan penurunan suku bunga tidak mampu mendorong permintaan masyarakat. Secara teoritis, analisis ekonomi Keynes menunjukkan kemungkinan adanya keadaan dimana kebijakan moneter tidak dapat mendorong permintaan masyarakat, dengan demikian pertumbuhan ekonomi. Keadaan tersebut disebut dengan istilah liquidity trap. Ini adalah suatu kondisi perrekonomian di mana pengeluaran untuk konsumsi dan investasi tidak sensitif terhadap perkembangan suku bunga.
Perekonomian Jepang dalam tahun-tahun terakhir ini menyerupai kasus liquidity trap tersebut. Suku bunga di Jepang sudah mendekati atau sama dengan nol persen. Karena itu upaya menurunkan suku bunga untuk mendorong permintaan masyarakat nyaris tidak ada gunanya. Beberapa waktu yang lalu karena tidak mungkin lagi menurunkan suku bunga, bank sentral Jepang memberikan dorongan kepada permintaan masyarakat dengan menambah uang beredar secara langsung. Tindakan ini tidak memberikan dorongan kepada perekonomiannya untuk bergerak.
Kekuatiran yang dikemukakan professor Krugman adalah adanya kemungkinan bahwa apa yang dilakukan Ketua Fedres Alan Greenspan dengan penurunan suku bunga mempunyai nasib seperti yang terjadi di Jepang. Saya kira kekhawatiran ini bukan sesuatu yang mengada-ada. Dalam satu tahun terakhir Ketua Greenspan sudah sembilan kali menurunkan suku bunga, termasuk dua kali sejak terjadi serangan teroris 11 September. Dewasa ini suku bunga antar bank atau Fedrate sebesar 2,5%, yang dalam arti riilnya sudah negatif, merupakan suku bunga terendah sejak tahun empat puluhan.
Apakah dorongan moneter tersebut akan menolong ekonomi A.S. melawan kelesuan resesi? Saya khawatir tidak. Bahkan tindakan menurunkan suku bunga oleh orang yang paling dipercaya mengelola ekonomi A.S. ini nampaknya tidak mencapai sasaran. Kalau penurunan suku bunga yang telah dilakukan tujuh kali sebelum September dimaksudkan untuk mendorong pulihnya indeks saham Dow Jones dan Nasdaq, usaha tersebut tidak berhasil.
Pada pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia di Hong Kong, September 1997, saya menanyakan ke pada Ketua Greenspan dalam suatu pertemuan mengenai pernilaiannya terhadap perkembangan pasar modal yang menunjukkan gejala memanas (bubbling) waktu itu. Saya menyatakan keheranan saya terhadap sikapnya yang menyuarakan kekhawatiran terhadap perkembangan pasar modal pada waktu indeks saham 'baru' mencapai enam ribuan tahun 1996, dengan istilah beliau yang menjadi sangat terkenal, irrational exhuberance. Sedangkan dalam tahun 1997, di kala indeks Dow Jones 'telah' mencapai lebih dari delapan ribu, beliau tidak nampak khawatir lagi. Seperti biasanya, beliau sangat hati-hati dalam membuat pernyataannya menaggapi pertanyaan saya, sehingga sebetulnya tidak memberikan jawaban yang saya inginkan. Saya hanya mencatat bahwa saat tersebut sebenarnya Alan Greenspan menjadi percaya kepada pilar baru dalam fundamental ekonomi, yaitu berkembangnya secara pesat apa yang dinamakan new economics yang sarat dengan e-commerce, yang berkaitan dengan perkembangan Nasdaq.
Indeks Dow Jones yang pernah sampai sekitar di atas lima belas ribu beberapa tahun lalu mulai menurun sejak akhir tahun 2000. Perkembangan terakhir, sejak NYSE dibuka kembali setelah 11 September indeks Dow Jones ada dibawah sembilan ribu. Setelah membaik kembali indeks tersebut berada pada sekitar 6 % dibawah tingkat sebelum teror terjadi.
Salah satu angka perkiraan menunjukkan bahwa kerugian yang terjadi dengan penurunan indeks saham tersebut mencapai sekitar satu trilyun dollar. Dengan sekitar 40% dari keluarga di A.S. dewasa ini menanam uangnya pada pasar modal, penurunan pendapatan karena kerugian tersebut meluas di masyarakat dengan implikasi menurunnya konsumsi serta investasi masyarakat yang berarti menurunnya pertumbuhan ekonomi.
Mengapa penurunan suku bunga di A.S. nampaknya tidak mempunyai daya dongkrak meningkatkan indeks saham? Mungkin terlalu berani untuk menyebutkan bahwa perekonomian A.S. ada dalam suatu liquidity trap. Akan tetapi bahwa tindakan menurunkan suku bunga tersebut tidak efektif nampaknya sukar dibantah. Beberapa waktu yang lalu International Herald Tribune (IHT, 5/10) memuat editorial New York Times yang mulai meragukan efektifitas dari kebijakan penurunan suku bunga di A.S.
Memang agak mengherankan bahwa usaha mendorong kegairahan pasar modal ini tidak menampakkan hasil. Yang nampak terdorong hanyalah permintaan terhadap perumahan karena menurunnya suku bunga mortgage. Tentu jawaban yang dapat diberikan adalah, seandainya penurunan suku bunga tersebut tidak dilakukan mungkin NYSE sudah jatuh tanpa bantuan aksi teroris.
Serangan teroris 11 September ini menjadi sangat dahsyat karena terjadi pada waktu ekonomi A.S sedang dalam keadaan lemah. Menjelang terjadinya serangan teroris, kepercayaan konsumen yang diukur dengan Consumers' Confidence Index susunan Universitas Michigan, Ann Arbor, ternyata sedang berada pada titik yang terendah dalam delapan tahun terakhir. Jadi pada waktu kepercayaan masyarakat sedang sangat rendah telah terjadi tekanan dahsyat yang menyebabkan seolah-olah pasar modal menjadi lumpuh. Ini mungkin yang menjelaskan mengapa tindakan moneter dengan penurunan suku bunga tidak mempan memberikan dorongan masyarakat A.S. untuk meningkatkan pengeluaran masyarakat. Perekonomian A.S. sebelum aksi teroris sudah diambang kondisi resesi.
Ini yang juga menjelaskan mengapa pada waktu keadaan yang oleh Presiden Bush disebut sebagai 'perang', pemerintah A.S justru menganjurkan masyarakat agar kembali melakukan kegiatan normalnya, banyak bepergian, banyak berbelanja, pergi ke tempat-tempat entertaintment, makan di restoran, dsb. Dalam perang yang konvensional, masyarakat biasanya diminta untuk berhemat, menabung untuk menaggung biaya perang.
Pemerintah A.S. telah melakukan tindakan mendorong permintaan masyarakat dengan meningkatkan pengeluaran dan pemangkasan pajak. Presiden Bush berbicara mengenai program pemberian dorongan ekonomi sebesar USD 75 milyar. Sebelumnya Ketua Greenspan dan Menkeu Paul O'Neil telah berbicara mengenai program untuk mendorong perekonomian masyarakat secara besar dengan nilai sekitar USD 100 milyar.
Jadi yang dilakukan tidak hanya melakukan penurunan suku bunga sampai demikian rendah, akan tetapi juga meningkatkan pengeluaran langsung. Sayangnya, inipun belum tentu menyelamatkan ekonomi A.S. dari resesi. Mungkin hanya akan mempercepat pemulihannya.
Tambahan kendala
Mengapa di Indonesia tidak dilakukan penurunan suku bunga seperti yang dilakukan A.S? Mengapa tidak dilakukan peningkatan pengeluaran APBN untuk mendorong ekonomi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan, tidak hanya karena tuntutan dunia usaha, tetapi mengingat kecenderungan melemahnya perekonomian nasional sebagai akibat dari kelesuan ekonomi dunia. Apalagi kalau diikuti pemberitaan di media (Reuters, 3/10) yang menyebutkan bahwa negara-negara di Asia kebanyakan sudah bersiap-siap untuk mengikuti apa yang dilakukan Fedres, menurunkan suku bunga dan tindakan pemerintah berbagai negara memberikan dorongan fiskal.
Penurunan suku bunga di Indonesia untuk mendorong permintaan investasi dan konsumsi masyarakat menghadapi dampak kelesuan karena implikasi dari penurunan ekonomi dunia memang tidak semudah disangkakan orang. Tentunya alasannya bukan hanya karena 'takut' kepada IMF hingga Bank Indonesia tidak cepat-cepat menurunkan suku bunga, atau Menkeu memberikan jawaban seperti disingung di atas. Tetapi mengapa?
Dalam kondisi yang ditunjukkan di atas, penurunan suku bunga tidak mempan memberikan dorongan menumbuhkan kegiatan ekonomi, nampaknya karena adanya liquidity trap. Untuk Indonesia, ada kendala yang lebih membatasi lagi. Penurunan suku bunga ditakutkan akan memperlemah lebih lanjut nilai tukar rupiah. Dan penurunan nilai tukar akan otomatis menganulir daya dorong dari sektor moneter terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam aspek praktisnya, mempertahankan keketatan likuiditas untuk kestabilan nilai tukar tersebut secara eksplisit disebutkan di dalam kesepakatan Pemerintah dengan IMF. Dengan demikian secara teknis memang ada kendala yang mengikat
Kendala untuk penurunan suku bunga bukan karena Indonesia ada di dalam liquidity trap, tetapi karena instrumen ini diperlukan untuk mempertahankan kestabilan rupiah. Permasalahan efektifitas penggunaan suku bunga untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar mirip dengan permsalahan efektifitas penurunan suku bunga untuk memerangi kecenderungan turunnya indeks saham.
Di atas digambarkan tidak mempannya pemberian dorongan ekonomi dengan penurunan suku bunga di A.S. dan Jepang. Bagaimana dengan efektifitas peningkatan suku bunga untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar?
Kebijakan pengetatan likuiditas dengan meningkatkan suku bunga sangat tinggi ini sangat berhasil dilakukan, misalnya di Hong Kong bulan Okober 1997. Pada waktu perekonomiannya menghadapi tekanan berat dari ulah spekulan di pasar moda yang membahayakan sistim nilai tukar tetap dollar Hong Kong, suku bunga antar bank di dorong naik sangat tinggi. Dollar Hong Kong diselamatkan, artinya otoritas moneternya tidak harus melakukan devaluasi, nilai tukarnya tidak berubah.
Akan tetapi tingkat suku bunga sangat tinggi tersebut hanya terjadi dalam waktu singkat, sekitar dua minggu. Setelah itu gangguan terhadap nilai tukar menghilang dan suku bunga turun kembali dengan cepat. Dalam keadaan ini laju pertumbuhan ekonominya tidak terpengaruh.
Pengalaman Indonesia meningkatkan suku bunga dan mempertahankan suku bunga tinggi untuk menopang kestabilan rupiah selama ini harus diakui belum sepenuhnya teruji kemanjurannya. Berbagai studi empiris menunjukkan bahwa peningkatan suku bunga tidak selalu efektif untuk mempertahankan nilai tukar mata uang. Ini memang membuat kebijakan moneter menjadi dilematis. Alur pemikirannya jelas bahwa masyarakat memerlukan rupiah untuk membeli dollar. Karena itu untuk mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dollar, dorongan membeli dollar dikurangi dengan mempertahankan suku bunga tinggi, atau memperketat likuiditas rupiah.
Di lain pihak, mempertahankan suku bunga tinggi dalam kurun waktu yang lama berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Suku bunga tinggi membatasi pengeluaran untuk investasi dan konsumsi, karena itu pertumbuhan ekonomi. Ekonomi yang mandeg menimbulkan banyak masalah.
Dilema yang timbul bukan karena tidak efektifnya kebijakan moneter ketat. Akan tetapi langkah meningkatkan suku bunga untuk menstabilkan nilai tukar, kalaupun efektif nampaknya terbatas hanya dalam jangka pendek saja. Dalam jangka panjang suku bunga yang tinggi langsung mempengaruhi secara negatif pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka panjang, ekonomi yang sekuat apapun tidak tahan terhadap suku bunga yang sangat tinggi.
Masalah yang dihadapi di sini adalah bagaimana agar instrumen jangka pendek ini tidak mengganggu sasaran jangka panjang. Kestabilan nilai tukar dalam jangka panjangnya tergantung kepada fundamental ekonomi dan kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap funamental tersebut. Suku bunga yang tinggi dapat efektif mempertahankan nilai tukar mata uang dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang basis kestabilan nilai tukar lebih mengacu ke pada kekuatan lain, kepercayaan pasar terhadap fundamental dan kemampuan pemerintah mengelola ekonomi makro. Suku bunga tinggi yang berlangsung lama bertentangan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kalau penurunan suku bunga sukar dilaksanakan, apakah bisa diganti dengan peningkatan pengeluaran anggaran, menginngat peningkatan pengeluaran anggaran akan mendorong kegiatan ekonomi? Masalahnya, cara ini juga menghadapi kendala yang rumit. APBN sekarang sudah mempunyai defisit yang cukup besar. Jadi peningkatan pengeluaran akan lebih membesarkan defisit lagi. Dampak peningkatan defisit pada perkembangan harga-harga atau laju inflasi tentu harus dijaga.
Sebenarnya defisit APBN yang ada bukan karena pengeluaran yang mendorong ekspansi kegiatan ekonomi. Tetapi karena pendanaan pembayaran kembali pinjaman yang sangat besar. Karena itu peningakatan pengeluaran yang akan menambah besarnya defisit APBN mungkin tidak harus membahayakan kestabilan harga. Akan tetapi besarnya defisit APBN pemerintah juga dibatasi oleh kesepakatan dengan IMF.
Dari gambaran singkat ini, instrumen moneter dan fiskal yang ada di dalam pendekatan ekonomi untuk kestabilan dan pertumbuhan nampaknya tidak tidak dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam kondisi sekarang ini. Ruang gerak kebijakan Pemerintah sangat sempit karena menghadapi kendala yang mengikat. Ini merupakan masalah yang perlu disadari IMF.
Menghadapi Dunia yang berubah
Akhir-akhir ini sudah menjadi klise untuk mengatakan bahwa dunia tidak akan sama lagi setelah terjadinya aksi teroris 11 September 2001. Saya menulis sebelum ini (Kompas, 19/9/01) bahwa tragedi yang terjadi telah merubah atau mengancam posisi A.S. sebagai negara adikuasa tunggal yang tidak mengenal ancama keamanan maupun sebagai sorga yang aman bagi investasi.
Perubahan yang terjadi nampaknya lebih dari itu. Kalau apa yang saya utarakan di atas benar, kita melihat bahwa kehebatan kebijakan moneter yang dimainkan sangat bagus oleh Fedres dibawah pimpinan Alan Greenspan mungkin tidak lagi efektif seperti sebelumnya. Tokoh yang dikenal percaya pada langkah-langkah kecil yang konsisten, bukan gebrakan spektakuler, nampaknya berubah. Ketua Greenspan telah percaya dan mendukung langkah stimulasi fiskal yang jumlahnya mencapai USD 100 milyar.
Apakah Ketua Greenspan meninggalkan kepercayaannya terhadap langkah moneter dan beralih ke instrumen fiskal? Langkah-langkah kecil dirubah menjadi gebrakan besar? Saya kira tidak. Pendekatannya yang bersifat eklektis dalam bahasa terangnya adalah pragmatis. Dia melihat kondisi baru telah menuntut langkah baru, sebagaimana dia menerima peningkatan indeks Dow Jones dan Nasdaq sampai sangat tinggi tanpa mengulang menyebutkannya sebagai irrational exhuberance.
Teror 11 September nampaknya juga merubah kebijakan pemerintah A.S. secara fundamental. Financial Times, 6/10/01 menurunkan tulisan yang menunjukkan perubahan kebijakan A.S. tersebut. Dalam waktu singkat, presiden yang berasal dari Partai Republik yang tidak hanya akkrab dengan filsafat ekonomi pasar, tetapi mewarisi kebijakan yang selama satu dasawarsa cenderung demikian, tiba-tiba berubah. Presiden George W. Bush meminta otorisasi Kongres untuk mengadakan pengeluaran sangat besar untuk keperluan rehabilitasi kerusakan aksi teroris, untuk penyelamatan (bail out) beberapa perusahaan penerbangan dan untuk paket dorongan fiskal sebesar USD 75 milyar. Nampaknya tradisi konservatisme Milton Friedman yang tidak percaya pada kebijakan diskresi pemerintah dalam perekonomian telah diganti dengan intervensi a la John Maynard Keynes.
Ada yang bilang kondisi yang luar biasa menuntut kebijakan yang luar biasa pula. Kebijakan pengendalian makro Indonesia nampaknya menghadapi kondisi yang luar biasa. Apakah IMF yang nampaknya mengusulkan perlunya stimulasi domestik bagi ekonomi Indonesia menyadari bahwa ruang gerak kebijakan ekonomi untuk itu hampir tidak dimungkinkan karena dibatasi oleh persyaratan yang dituntutnya?
0 komentar:
Posting Komentar