Mungkin mengawali tulisan ini, tidak ada salahnya saya ucapkan SUBHANALLAH. Sesosok Bona Paputungan mampu mengispirasi banyak semua orang dengan lantunan syair yang begitu mengiris hati kita saat mendengar bait demi bait tulisan lagunya. Pengalaman pahitnya begitu menjadi gondam yang telak melihat ketidakadilan supremasi hukum dinegeri ini. Ironis disaat rakyat kecil melakukan kesalahan namun sang hakim dengan mudahkan mengetokkan palu kesalahan sang tertindas. Mungkin ibarat orang bumi pertiwi ini sakit kronis yang membuat suatu saat dia meti. Saya hanya serukan melaluhi tulisan ini "berhentilah para koruptor" dalam menindas batin rakyat ini. Kami sudah jenuh mendengar ocehanmu yang tak satu jiwa dengan perbuatanmu. Kami lelah, capek sekaligus jengkel melihat tingkah lakumu, namun kami tak punya uang seperti gayus yang bisa beli hukuman.Rakyat hanya bisa pasrah menerima keadaan.
“Andai Aku Gayus Tambunan” lagu untuk negeri ini, begitu judul salah satu tulisan di Tribunnews.com yang penulis anggap cukup mewakili untuk bahasan artikel berikut ini. Bona Paputungan sendiri sebagai pencipta lagu tersebut tidak menyangka bahwa lagu bertemakan kritik sosial tentang ketidakadilan penegakan hukum di negeri ini bakal meledak sedasyat itu. Bahkan gara-gara lagunya ini, ia mendapat teror dari orang yang merasa gerah tersindir oleh lagu tersebut.
Itulah salah satu kekuatan sebuah musik (lagu). Karena musik itu sendiri tak bedanya bahasa yang dirangkai dalam artikulasi bunyi yang bisa bermakna lebih dari sekadar bunyi yang bisa mengungkapkan sesuatu, bias personal sifatnya, bisa kemanusiaan, bisa politis, dan bisa jadi “Andai Aku Gayus Tambunan.”
Tak heran bila kemudian disebutkan bahwa musik mengambil peran cukup penting dalam kehidupan. Itu sebabnya bukanlah tidak mungkin jika jiwa suatu masyarakat atau bangsa dapat dipelajari dari musiknya.
Tinggal bagaimana mengintegrasikan musik sebagai karya kesenian dalam kegiatan besar manusia yang bernama kebudayaan, atau bidang kehidupan lainnya, seperti moral, kepribadian, edukasi, ketauladanan, juga dalam kehidupan politik. Bahkan musik bisa ditempatkan lebih terhormat tak sekadar hiburan yaitu sebagai pilar kelima demokrasi yang juga ikut andil berfungsi kontrol sosial. Tak hanya peran pers yang bisa berfungsi sebagai kontrol sosial. Di sini lewat peran kritisnya musik juga bisa berfungsi memainkan kontrol sosial.
Karena dalam hal ini kedudukan, status, maupun peran seniman sendiri pada hakekatnya tak bedanya seperti seperti ulama,wartawan atau intelektual. Di mana lewat perannya yang cukup strategis dalam kehidupan sosial, seniman haruslah berani mewartakan kaidah-kaidah kebenaran dan mengungkap segala bentuk kepalsuan-kepalsuan yang terjadi di masyarakat. Termasuk melawan segala bentuk dehumanisasi.
Fungsi kontrol ini sekaligus menjadi kritik seni yang akan menempatkan dirinya sebagai kritik sosial dalam mengungkap beragam persoalan yang terjadi di masyarakat, seperti pelanggaran hak asasi, kepincangan sosial, ketidakadilan, kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Semua ini bisa diangkat menjadi narasi, tema lagu atau nyanyian sebagai bentuk kepekaan, kepedulian dan tanggungjawab sosial seniman. Bahkan bisa disebutan bahwa bahasa lagu jauh lebih bisa berbicara, karena keberadaaan sebuah lagu memlikki relevansi sosial mengatasi batasan ruang dan waktu. Seperti pada lagu Merah Putih dan Reruntuhan di album Perahu Retak – Franky Sahilatua, yang berkisah tentang bencana kemanusiaan Waduk Kedungombo (juga Lapindo).
Dikatakan oleh Franky, bahwa kemampuan melihat persoalan bangsa bukan hanya dimiliki kaum politisi. Kaum seniman juga mempunyai kemampuan yang sama dengan bahasa yang berbeda. Jika para politisi bisa memprediksi persoalan kebangsaan dari analisa politik, sebagai seniman juga bisa bicara bangsa dari analisa-analisa kultural, atau kesenian. Musik sebagai hiburan juga harus memberi pencerahan dengan lirik atau lagu yang berjiwa dan bermakna bagi kehidupan. Dalam berkesenian seorang seniman tidak boleh memalingkan diri dari realitas sosial. Bahkan musik bisa berfungsi sebagai kontrol sosial.
Di era industri musik, kritik sosial yang menyorot kepincangan-kepincangan sosial juga banyak ditemui, seperti pada lagu-lagunya Iwan Fals, Franky Sahilatua, Leo Kristi, Gombloh, Harry Roesli, Mogi Darusman, God Bless, Swami, Kantata Takwa, atau Slank. Bahkan di era penguasa Orde Baru sangat represif terhadap kritik seni, lagu-lagu bernada kritik sosial tak jarang mengalami pencekalan, disensor tidak boleh ditayangkan di televisi, larangan izin manggung sang artis karena dianggap dapat mengganggu stabilitas politik. Sikap represif yang dilakukan pihak penguasa dalam mencekal dan membungkam kritik seni ini bukan berarti membikin jera atau mematikan kreativitas seniman untuk bicara lantang tentang persoalan bangsanya.
Sebagai bentuk kreativitas seni kehadiran musik protes ini biasanya mengacu pada kritik sosial atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam prinsip-prinsip umum kehidupan masyarakat misalnya ketidakadilan. Munculnya musik protes ini tidak selalu karena adanya tekanan tetapi juga bisa disebabkan keprihatinan sang seniman atas kondisi realitas sosial.
Album Perahu Retak (Franky Sahilatua & Emha Ainun Nadjib), adalah salah satu contoh ungkapan keprihatinan yang menyorot ketidakadilan dan ketimpangan sosial terjadi di negeri ini. Lagu di album yang dirilis tahun 1996 ini juga sempat menjadi nyanyian penyemangat kalangan demonstran saat Reformasi. Juga pada album Iwan Fals bertajuk Manusia ½ Dewa yang dirilis saat Pemilu 2004 ini banyak mengangkat tema sosial politik. Contoh lain yang sarat kritik sosial tak kalah dasyatnya adalah lagu Gosiip Jalanan milik Slank. Lagu yang dinyanyikan kelompok musik Slank menyorot masalah terjadinya korupsi di intitusi pemerintah sempat membuat kuping panas anggota lembaga terhormat wakil rakyat yang juga banyak terlibat praktik korupsi.
Kritik sosial terhadap praktek korupsi yang terus saja merajalela dan dianggap sudah membudaya di kalangan birokrasi pemerintahan – juga terjadi di institusi penegakan hukum bahkan juga merayapi wakil rakyat di lembaga legislatif – pada era ’70-an juga tak luput dari sorotan penyanyi Mogi Darusman lewat lagu Rayap-Rayap. (Mogi Darusman – Aje Gile, 1978). Lagu yang liriknya ditulis penulis novel Ali Topan Anak Jalanan – Teguh Esha, juga sempat membuat kuping panas petinggi rezim Orde Baru. Seperti halnya pada lagu Andai Aku Gayus Tambunan.
Ini menunjukkan bahwa musik juga bisa memainkan peran kritik seni sebagai fungsi kontrol sosial dan kritik sosial. Meski dalam sejarahnya baik di era Orde Lama maupun Orde Baru peran musik sebagai kontrol sosial sering dimandulkan, dicekal atau dihadapkan sikap represif penguasa. Sebagaimana dialami lagu Indonesia Raya pernah dicekal karena dianggap bisa mengganggu stabilitas kepentingan kolonial Belanda.
Seperti diungkap oleh Plato, musik bukan saja berpengaruh dalam kehidupan – tak terkecuali di bidang politik – juga bisa menjadi pilar kekuatan kehidupan demokratisasi. Sejauhmana citra musik pop Indonesia yang tiap hari kita dengar atau yang kita tonton di ragam tayangan acara televisi sudahkah mengisyarakatkan peran dan fungsinya sebagaimana bahasan di artikel ini, di mana lewat peran kritisnya musik juga bisa berfungsi memainkan kontrol sosial.
Dari topik bahasan ini pula yang mengantarkan kita pada munculnya ragam pertanyaan seputar persoalan musik pop Indonesia setidaknya kurun waktu dua dekade belakagan ini. Meski banyak pengamat musik dan industri rekaman menyebutkan bahwa dalam perkembangannya musik pop Indonesia saat ini sudah mampu menunjukkan kiprahnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Perkembangan ini juga tak luput dari amatan kritis pemerhati kebudayaan yang menyorot secara tajam prihal musik pop dewasa ini yang dianggap sudah kehilangan auranya, tidak lagi mempedulian nilai estetika, lebih mengutamakan nilai bisnisnya. Anggapan ini bertolak dari situasi di mana perkembangan musik itu sendiri yang lebih banyak ditempatkan sebagai persoalan bisnis daripada kebudayaan atau kesenian. Termasuk perkembangan musik pop Indonesia dewasa ini dianggap mengalami erosi nilai estetika, dianggap tidak lagi mencerminkan citra musik Indonesia sesungguhnya karena sudah distandarisasi oleh kemauan kekuatan kepentingan industri.
Benarkah wajah musik pop Indonesia saat ini lebih merepresentasikan kepentingan bisnis yang dikendalikan oleh kekuatan ideologi industri global antara lain dengan beroperasinya label rekaman raksasa transnasional di Indonesia? Mengingat bahwa perkembangan musik itu sendiri tidak lepas dari kemajuan teknologi dan informasi telah membawanya memasuki orbit kekuatan gelombang globalisasi sebagai sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Tapi bagaimana kita menggunakan kekuatan-kekuatan ini untuk meneguhkan kembali kesadaran baru di tengah pusaran arus gelombang globalisasi. Termasuk bagaimana membangun pencitraan musik pop Indonesia di tengah ragam pencitraan dan wacana apresiatif yang berkembang dewasa ini.
Sumber : www.tribunnews.com
Mau unduh lagunya : Andai Aku Jadi Gayus Tambunan
Itulah salah satu kekuatan sebuah musik (lagu). Karena musik itu sendiri tak bedanya bahasa yang dirangkai dalam artikulasi bunyi yang bisa bermakna lebih dari sekadar bunyi yang bisa mengungkapkan sesuatu, bias personal sifatnya, bisa kemanusiaan, bisa politis, dan bisa jadi “Andai Aku Gayus Tambunan.”
Tak heran bila kemudian disebutkan bahwa musik mengambil peran cukup penting dalam kehidupan. Itu sebabnya bukanlah tidak mungkin jika jiwa suatu masyarakat atau bangsa dapat dipelajari dari musiknya.
Tinggal bagaimana mengintegrasikan musik sebagai karya kesenian dalam kegiatan besar manusia yang bernama kebudayaan, atau bidang kehidupan lainnya, seperti moral, kepribadian, edukasi, ketauladanan, juga dalam kehidupan politik. Bahkan musik bisa ditempatkan lebih terhormat tak sekadar hiburan yaitu sebagai pilar kelima demokrasi yang juga ikut andil berfungsi kontrol sosial. Tak hanya peran pers yang bisa berfungsi sebagai kontrol sosial. Di sini lewat peran kritisnya musik juga bisa berfungsi memainkan kontrol sosial.
Karena dalam hal ini kedudukan, status, maupun peran seniman sendiri pada hakekatnya tak bedanya seperti seperti ulama,wartawan atau intelektual. Di mana lewat perannya yang cukup strategis dalam kehidupan sosial, seniman haruslah berani mewartakan kaidah-kaidah kebenaran dan mengungkap segala bentuk kepalsuan-kepalsuan yang terjadi di masyarakat. Termasuk melawan segala bentuk dehumanisasi.
Fungsi kontrol ini sekaligus menjadi kritik seni yang akan menempatkan dirinya sebagai kritik sosial dalam mengungkap beragam persoalan yang terjadi di masyarakat, seperti pelanggaran hak asasi, kepincangan sosial, ketidakadilan, kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Semua ini bisa diangkat menjadi narasi, tema lagu atau nyanyian sebagai bentuk kepekaan, kepedulian dan tanggungjawab sosial seniman. Bahkan bisa disebutan bahwa bahasa lagu jauh lebih bisa berbicara, karena keberadaaan sebuah lagu memlikki relevansi sosial mengatasi batasan ruang dan waktu. Seperti pada lagu Merah Putih dan Reruntuhan di album Perahu Retak – Franky Sahilatua, yang berkisah tentang bencana kemanusiaan Waduk Kedungombo (juga Lapindo).
Dikatakan oleh Franky, bahwa kemampuan melihat persoalan bangsa bukan hanya dimiliki kaum politisi. Kaum seniman juga mempunyai kemampuan yang sama dengan bahasa yang berbeda. Jika para politisi bisa memprediksi persoalan kebangsaan dari analisa politik, sebagai seniman juga bisa bicara bangsa dari analisa-analisa kultural, atau kesenian. Musik sebagai hiburan juga harus memberi pencerahan dengan lirik atau lagu yang berjiwa dan bermakna bagi kehidupan. Dalam berkesenian seorang seniman tidak boleh memalingkan diri dari realitas sosial. Bahkan musik bisa berfungsi sebagai kontrol sosial.
Di era industri musik, kritik sosial yang menyorot kepincangan-kepincangan sosial juga banyak ditemui, seperti pada lagu-lagunya Iwan Fals, Franky Sahilatua, Leo Kristi, Gombloh, Harry Roesli, Mogi Darusman, God Bless, Swami, Kantata Takwa, atau Slank. Bahkan di era penguasa Orde Baru sangat represif terhadap kritik seni, lagu-lagu bernada kritik sosial tak jarang mengalami pencekalan, disensor tidak boleh ditayangkan di televisi, larangan izin manggung sang artis karena dianggap dapat mengganggu stabilitas politik. Sikap represif yang dilakukan pihak penguasa dalam mencekal dan membungkam kritik seni ini bukan berarti membikin jera atau mematikan kreativitas seniman untuk bicara lantang tentang persoalan bangsanya.
Sebagai bentuk kreativitas seni kehadiran musik protes ini biasanya mengacu pada kritik sosial atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam prinsip-prinsip umum kehidupan masyarakat misalnya ketidakadilan. Munculnya musik protes ini tidak selalu karena adanya tekanan tetapi juga bisa disebabkan keprihatinan sang seniman atas kondisi realitas sosial.
Album Perahu Retak (Franky Sahilatua & Emha Ainun Nadjib), adalah salah satu contoh ungkapan keprihatinan yang menyorot ketidakadilan dan ketimpangan sosial terjadi di negeri ini. Lagu di album yang dirilis tahun 1996 ini juga sempat menjadi nyanyian penyemangat kalangan demonstran saat Reformasi. Juga pada album Iwan Fals bertajuk Manusia ½ Dewa yang dirilis saat Pemilu 2004 ini banyak mengangkat tema sosial politik. Contoh lain yang sarat kritik sosial tak kalah dasyatnya adalah lagu Gosiip Jalanan milik Slank. Lagu yang dinyanyikan kelompok musik Slank menyorot masalah terjadinya korupsi di intitusi pemerintah sempat membuat kuping panas anggota lembaga terhormat wakil rakyat yang juga banyak terlibat praktik korupsi.
Kritik sosial terhadap praktek korupsi yang terus saja merajalela dan dianggap sudah membudaya di kalangan birokrasi pemerintahan – juga terjadi di institusi penegakan hukum bahkan juga merayapi wakil rakyat di lembaga legislatif – pada era ’70-an juga tak luput dari sorotan penyanyi Mogi Darusman lewat lagu Rayap-Rayap. (Mogi Darusman – Aje Gile, 1978). Lagu yang liriknya ditulis penulis novel Ali Topan Anak Jalanan – Teguh Esha, juga sempat membuat kuping panas petinggi rezim Orde Baru. Seperti halnya pada lagu Andai Aku Gayus Tambunan.
Ini menunjukkan bahwa musik juga bisa memainkan peran kritik seni sebagai fungsi kontrol sosial dan kritik sosial. Meski dalam sejarahnya baik di era Orde Lama maupun Orde Baru peran musik sebagai kontrol sosial sering dimandulkan, dicekal atau dihadapkan sikap represif penguasa. Sebagaimana dialami lagu Indonesia Raya pernah dicekal karena dianggap bisa mengganggu stabilitas kepentingan kolonial Belanda.
Seperti diungkap oleh Plato, musik bukan saja berpengaruh dalam kehidupan – tak terkecuali di bidang politik – juga bisa menjadi pilar kekuatan kehidupan demokratisasi. Sejauhmana citra musik pop Indonesia yang tiap hari kita dengar atau yang kita tonton di ragam tayangan acara televisi sudahkah mengisyarakatkan peran dan fungsinya sebagaimana bahasan di artikel ini, di mana lewat peran kritisnya musik juga bisa berfungsi memainkan kontrol sosial.
Dari topik bahasan ini pula yang mengantarkan kita pada munculnya ragam pertanyaan seputar persoalan musik pop Indonesia setidaknya kurun waktu dua dekade belakagan ini. Meski banyak pengamat musik dan industri rekaman menyebutkan bahwa dalam perkembangannya musik pop Indonesia saat ini sudah mampu menunjukkan kiprahnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Perkembangan ini juga tak luput dari amatan kritis pemerhati kebudayaan yang menyorot secara tajam prihal musik pop dewasa ini yang dianggap sudah kehilangan auranya, tidak lagi mempedulian nilai estetika, lebih mengutamakan nilai bisnisnya. Anggapan ini bertolak dari situasi di mana perkembangan musik itu sendiri yang lebih banyak ditempatkan sebagai persoalan bisnis daripada kebudayaan atau kesenian. Termasuk perkembangan musik pop Indonesia dewasa ini dianggap mengalami erosi nilai estetika, dianggap tidak lagi mencerminkan citra musik Indonesia sesungguhnya karena sudah distandarisasi oleh kemauan kekuatan kepentingan industri.
Benarkah wajah musik pop Indonesia saat ini lebih merepresentasikan kepentingan bisnis yang dikendalikan oleh kekuatan ideologi industri global antara lain dengan beroperasinya label rekaman raksasa transnasional di Indonesia? Mengingat bahwa perkembangan musik itu sendiri tidak lepas dari kemajuan teknologi dan informasi telah membawanya memasuki orbit kekuatan gelombang globalisasi sebagai sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Tapi bagaimana kita menggunakan kekuatan-kekuatan ini untuk meneguhkan kembali kesadaran baru di tengah pusaran arus gelombang globalisasi. Termasuk bagaimana membangun pencitraan musik pop Indonesia di tengah ragam pencitraan dan wacana apresiatif yang berkembang dewasa ini.
Sumber : www.tribunnews.com
Mau unduh lagunya : Andai Aku Jadi Gayus Tambunan
0 komentar:
Posting Komentar