Berikan Pendapat Anda tentang WI Berikan komentar positif dan santun demi pengembangan konten yang lebih menarik serta lebih faktual dengan berita ilmu yang bermanfaat bagi kita semua pada tahap selanjutnya, untuk partisipasi anda semua saya ucapkan Terimakasih

MENGAPA HARUS SISWA YANG SELALU SALAH

Penulis
SAIFUL ARIF
Alumni Teacher SuperCamp 2017 KPK RI


Jika saya mengingat kembali buku karya emas Chu Diel "Sekolah Bubarkan Saja" terasa hati dan mata ini ingin sekali menangis. Bentuk kegagalan dalam management pengelolahan sebuah lembaga pendidikan yang begitu massive terulang dan selalu terulang. Ketidakprofesionalan para pendidik merupakan faktor terjadinya kegagalan anak dalam memotivasi diri menjadi pribadi yang unggul dan hebat. Banyak kasus pelanggaran siswa di lingkungan sekolah atau madrasah merupakan akibat  dari suatu sebab kurang  perhatiannya seorang guru dalam menegakkan peraturan sekolah. Dalam realitas yang penulis amati, siswalah yang seolah-olah melakukan banyak pelanggaran walau pun kadang guru tidak sadar jika dirinya melakukan pelanggaran. Jika pun dia tahu bahwa tindakannya melakukan pelanggaran maka dia berpikir "tidak akan ada siswa atau guru lain yang protes".

Perspektif yang ngawor dan terkesan arogan sering terjadi, apalagi lembaga tersebut berbentuk yayasan dan dia sebagai tokoh dalam yayasan tersebut. Lontaran kritikan pedas sering ditujukan pada guru-guru berintegritas tinggi. Selalu mencari titik kelemahan seseorang yang merasa menjadi saingan dan barometer sebagai guru yang disiplin atau sebaliknya. Hingga waktunya habis untuk berpikir bagaimana seharusnya mengolah kelas dengan cara baik dan benar. Keterlambatan datang dianggap suatu hal biasa, padahal akan berdampak buruk yang menimpa semua murid di dalam kelas tersebut. Murid jadi tidak terkendali dan ramai menyebabkan terganggunya kelas sebelah. Namun dengan serta merta guru menegur dan mamarahinya secara membabi buta. Tidak hanya itu saja siswa di justify dengan di photo HP lalu disebarkan di forum-forum sosial lain seperti Facebook, WhatsUp, dan lain-lain dengan mengklaim dirinya adalah guru paling benar. Sehingga lengkap sudah penderitaan dan hancurnya nama baik mereka (siswa) hanya karena seorang guru terlambat datang di kelas tepat waktu.
Penulis masih teringat dengan sebuah ucapan seorang kiai tersohor, beliau bilang, "siswa iku opo jare gurune (siswa itu apa kata gurunya)". Bahkan penulis pun sering berkata pada peserta didik bahwa "Bis tergantung supire". Tentu ini tidak bisa kita pungkiri begitu saja, bahwa kenakalan siswa itu sesungguhnya adalah keteledoran para pendidik untuk lebih serius dalam membina juga mendidik anak-anak. Seorang Bimbingan Konseling atau Pribadi (BP atau BK) selalu melihat kasus per kasus dari kejadian yang menimpa anak. Bukan serangkaian perintiwa yang secara holistik dan hirarkis untuk melakukan sesuatu dalam pengambilan keputusan. Baju tidak dimasukkan atau tidak berdasi dianggap sebuah kesalahan yang langsung diberikan hukuman tanpa dilihat sebab akibat dari masalah tersebut. Dengan cara mengmengali informasi tentang kesalahan anak-anak adalah hal yang bersifat mutlak dan harus. Sering penulis temui bahwa anak yang rutin melanggar aturan seperti tidak memakai dasi, baju tidak dimasukan itu adalah karena faktor keluarga yang kurang mampu dan wali murid belum punya dana untuk membelinya. Cukup miris memang melihat beragam kondisi wali murid yang belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan putra putrinya yang ,masih sekolah. Baju tidak dimasukan penyebabnya karena konsleting rusak sehingga untuk menutupi aib tersebut ditutup baju panjangnya. Kebijakan keputusan guru dalam menghukum siswa adalah faktor yang dapat mempengaruhi nilai kejiwaan siswa.
Kesalahan guru yang sering terjadi dilingkungan pendidikan atau bahkan kesalahan kepala sekolah yang juga sangat sering terjadi seperti kasus "terlambat" baik dalam artian terlambat yang sesungguhnya atau terlambat dalam mengambil keputusan. Siapakah yang sebenarnya bertanggung jawab atas kesalahan guru-guru ini yang pada akhirnya berdampak pada kenakalan siswanya?. Kita sebagai pendidik sebenarnya jawaban itu pasti tahu, namun masalahya berani tidak mereka menegakkan integritas peraturan walaupun itu yang melanggar adalah putra seorang kiai untuk sekedar mengingatkan!. Dilematis bagi kepala sekolah yang mengajar di bawah pimpinan yayasan pondok pesantren. Etos kerja yang kurang baik biasanya terjadi di lingkungan seperti ini. Walaupun masih ada ponpes yang berkomitmen untuk selalu menjunjung tinggi cita-cita bangsa dan negara. Ponpes berwawasan visioner dan proses dalam menciptakan suatu hasil output para lulusannya.
Waktu siswa banyak sekali tersita akibat pelanggaran-pelanggran para pendidik yang kurang peduli pada lembaganya. Mereka seharusnya sudah menerima hak penerima ilmu atau informasi dari guru-gurunya, namun hampir 20 menit para pendidikk itu belum hadir di kelas. Ketika terjadi keterlambatan siswa guru pun ambil tindakan cepat dan atau tanpa menanyakan sebab keterlambatan mereka. Alasan kesibukan rumah tangga yang selalu menjadi acuannya untuk mencari kambing hitam dari persoalan yang ada. Penulis yakin jika masalah ini dimulai dari membangun karakter dan integritas tinggi, maka tidak akan terjadi pelanggaran dari para terdidik dengan kata lain semua tergantung guru, kepala atau yang memimpin. Seragam membentuk model lain, siswa pun di salahkan bahkan rambut di potong diego atau dicat warna, maka siswa pun juga dipersalahkan. Jika memang itu semua adalah masalah ketaatan akan ketertiban administratif, tentu masih ada hal yang lebih bijak kita lakukan daripada langsung berbuat frontal tanpa berpikir jernih. Berlaku adilah kita sebagai pendidik, dengan mencari sebab musabab kenakalan siswa kita. Jangan menghukum siswa didepan siswa lain dengan cara menjatuhkan harga diri maupun martbatnya. Murid akan semakin tertekan dan akan berontak jiwanya, marah dan dendam pribadi yang merasa dipermalukan di depan publik juga teman-teman sejawatnya. Menjadi gurunya manusia, menjadi sekolahnya manusia adalah hal yang utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas siap bersaing dalam segala bidang.
Pendidik yang sudah mulai terkikis rasa peduli terhadap dunia pendidikan kadang kita sering lihat mempunyai sifat enggan untuk berprestasi, apalagi berpikir kratif dan inovatif demi sebuah penemuan karya baru, model pembelajaran baru bahkan alat peraga baru. Mereka lebih senang menjadi kelompok pengkritisi kinerja orang lain dari pada berpikir tentang daya saing dirinya. Membentuk kelompok-kelompok yang seide untuk selalu memperkecil dan mempersulit gerak dan kinerja mereka yang selalu berpikiran maju. Kita harus mengakomodir kepentingan siswa demi kompetensi yang mereka miliki dan semaksimal mungkin akan dilakukan pengembangan diri. Masih banyak guru yang memaksakan kehendak siswanya melakukan suatu pekerjaan, padahal pekerjaan itu dia tidak sukai dan bahkan tidak mempunyai kemampuan. Sebagai contoh, penulis pernah menjumpai guru yang sedikit arogan kepada siswanya. Dengan menggunakan otoritasnya sebagai guru kepada siswa untuk membuat tugas praktek mata pelajaran bahasa Indonesia. Sang guru pun langsung memerintahkan semua siswa membuat tugas menulis cerita pendek (cerpen). Ada seorang siswa memberikan saran dengan berkata "Bu, kalau menulis cerpen saya tidak bisa, tetapi jika puisi saya mampu". Sang guru pun dengan muka marah merah padam berkata "yang jadi guru itu siapa? kamu atau aku!". Tentu siswa tersebut ketakutan dan menjawab dengan nada gemetar "Ibu yang jadi gurunya". Melihat petikan dialog ini saja, penulis menjadi ngeri bacanya dan terkesan memaksakan kehendak. Apa mungkin memberikan tugas pada burung untuk berenang? Apa mungkin pula mengajarkan ikan untuk terbang? Juga tidak mungkin menyuruh gajah lomba lari dengan singa? seperti ada guru olah raga yang menugaskan ke siswa ujian praktek berlari 10.000 m = 10 Km. Mungkin anak pria kuat tapi bagaimana dengan anak perempuan setingkat SMP atau MTs. Contoh guru bahasa indonesia di atas seharusnya memberikan porsi yang sama yaitu tentang kemampuan siswa dalam membuat tugas praktek menulis walaupun jenisnya berbeda-beda. Bukan memaksa yang mampu membuat puisi di perintahkan membuat cerpen atau sebaliknya. Lagi-lagi mengapa harus siswa yang bersalah, mengapa kita buta dan tuli akan kemauan siswa dan kemapuan mereka. Mengapa kita tidak mengakomodir semua kepentingan mereka? bukankah materi bahasa indonesia beragam dan keragaman itu mustahil dikuasai oleh semua siswa.
Mari penulis ajak untuk menjadi gurunya manusia dan membangun peradaban yang menciptakan sekolahnya manusia. Anak-anak merasa nyaman dan aman secara psikologis untuk menemukan jati dirinya sebagai tunas atau penerus bangsa kita. Memberikan ruang gerak yang longgar dan seluas-luasnya secara positif. Membangun karakter anak dengan menyisipkan 9 nilai anti korupsi dalam setiap pertemuan di kelas (melaluhi RPP) atau pertemuan diluar kelas melaluhi kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler. Dengan demikian maka secara sendiri dan berjalan secara natural sudah menjadi gurunya manusia. Kesalahan-kesalahan atau pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para siswa, marilah dengan legowo sebagai orang tua atau pendidik instropeksi dalam melakukan kebijakan pada mereka, Bahwa keterlambatan mereka adalah sebab dari keterlambatan kita, ketidakdisipilnan mereka adalah sebab ketidakdisiplinan pendidik dan kepala sekolah. Jangan kita biarkan waktu mereka habis kita rampok dengan enggan masuk ke kelas duduk-duduk di kantor atau membiarkan siswa kita tidur pulas di dalam kelas saat pelajaran, sementara guru tersebut mengetahui dan malas untuk menegurnya. Astaghfirullah.

0 komentar:

Posting Komentar