Berikan Pendapat Anda tentang WI Berikan komentar positif dan santun demi pengembangan konten yang lebih menarik serta lebih faktual dengan berita ilmu yang bermanfaat bagi kita semua pada tahap selanjutnya, untuk partisipasi anda semua saya ucapkan Terimakasih

MENGGAJI GURU TINGGI, MUBAZIR

Oh..guruku, mimpi indahlah
Sudah barang tentu, berita kenaikan gaji guru yang signifikan jumlahnya selalu disambut gembira oleh para maupun pejuang karena hal itu merupakan salah satu bukti perhatian pemerintah terhadap nasib guru. Selama Orde guru hanya dihibur dengan nyanyian sebagai pahlawan tanda jasa, tapi suaranya dimanipulasi untuk menddukung status quo. PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) sebagai organisasi profesi, misalnya, menjadi kendaraan politik untuk pemenangan Golkar. Tapi kesejahteraan para guru kurang mendapatkan perhatian. Bahkan institusi-mstitusi seperti PGRI, KORPRI, Golkar turut membebani guru melalui pungutan iuranan yang harus dibayarkan oleh guru PNS setiap bulannya. Tapi bila guru tidak disukai oleh atasan atau tidak mau mendukung Golkar, mereka dikucilkan atau dimutasi ke pelosok.
Reformasi dalam bidang politik membawa dampak pada nasib guru. Dimulai dengan Presiden Bj. Habibie yang memberikan kenaikan tunjangan krisis sebesar Rp 150.000 kepada semua PNS, termasuk guru. Tunjungan itu tidak otomatis dicabut ketika kondisi ekonmi mulai membaik, sebaliknya ditambah ke dalam gaji pokok PNS. Presiden Abdurrahman Wahid (G Dur) hadir dengan pembenahan gaji yang lebih sistematik sangat berarti. Semua itu menimbulkan kegembiraan bagi guru karena nasib guru menjadi lebih baik.
Meskipun demikian, beberapa kawan, termasuk yang jadi guru, sering berkomentar: "Setuju kalau kesejahteraan diltingkatkan, tapt sesungguhnya guru yang ada sekarang tidak layak digaji tinggi, karena mereka tidak memiliki kompetensi otoritas, dan integritas yang tinggi sebagai guru." Mereka sekrup-sekrup dalam sebuah mesin yang hanya bergerak-gerakkan oleh tangan-tangan manusia. Otoritas mereka kepada pengawas, Kanwil, Kandep (sekarang berganti dan lebur dalam Dinas Pendidikan), atau yayasan swasta). Akibataya, para guru tidak pernah merasa gelisa meskipun mutu pendidikan merosot dan buku-buku yang me reka pakai hanya memperbodoh diri sendiri maupunmurid dan menjadikan guru hanya sebagai alat industri penerbit mencari keuntungan atau pejabat yang kolusi dan korup.
Say setuju dengan pandangan kawan-kawan di atas. Dalam beberapa tulisan dan ceramah di depan para guru di beberapa daerah selama pascar eformasi, saya tidak pernah menempatkan gaji yang rendah sebagai persoalan utama para guru sekarang. Berdasarkan pengalaman pribadi, guru sebetulnya 'memiliki peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan, sekaligus mengembangkan diri tanpa harus melacurkan profesinya sebagai pendidik, sejauh kreatif dan rajin. Tapi justru dua hal inilah yang tidak dimiliki oleh para guru kita, baik guru negeri maupun swasta. Mereka umumnya tidak pintar, loyo, malas membaca, bergaul, pengecut, tidak memiliki keinginan tahu (curiosity) terhadap ilmu, tidak ada hasrat untuk mengembangkan diri, tidak memiliki keberanian dan sikap yang jelas, tidak kritis, kreatif, juga tidak memiliki cakrawala dan relasi yang luas, sehinggaa dengan sendirinya sulit memperoleh peluang untuk berkembang kecuali dengan mengeksploitasi para murid. inilah persoalan guru yang, menurut hemat saya, mendesak untuk ditangani justru selalu terlewatkan, karena mayoritas terfokus gaji yang tinggi. Padahal, guru yang sekarang ini, meskipun digaji yang sangat tinggi, tetap saja tidak bermutu dan tidak pemah mengalami perbaikan mutu, karena sumber masalah tidak di sana, melainkan pada proses rekrutmen dan standar penenmaannya yang membuat guru memang harus bermutu agar mudah dininabobokan oleh penguasa.

Bila dicermati gerakan guru selama. masa pemerintahan Gus Dur, maka hanya PGRI sajalah yang menyederhanakan persoalan guru itu pada masalah gaji.yang rendah, sehingga perjuangan mereka selama masa reformasi hanya terfokus pada kenaikan gaji guru saja. Perjuuangan mereka itu pun sebetulnya lebih dimaksudkan untuk "menebus.dosa", karena selama. 32 tahun telah menjadikan guru sebagai alat legitimasi kekuasaan, sehingga keberadaan PGRI tidak membuat guru sejahtera, tapi malah tambah menderita.
Selain untuk "menebus dosa" agresifnya, PGRI memperjuangkan kenaikan gaji guru hingga 200 % dengan menggerakkan aksi demo ke Senayan dan Istana, juga secara transparan dibaca, oleh banyak pihak sebagai bagian dari konspiras'i elite politik" untuk menjatuhkan Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Terbukti gerakan itu hanya mampu memobilisasi para guru di Jawa Barat yang secara kultural tidak memiliki ikatan emosional dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Belakangan, Presiden Abdurrahman Wahid. sendiri melalui media massa menuding gerakan itu disponsori oleh dua mantan pejabat Orde Baru, yaitu Ginanjar Kartasasmita dan Fuad Bawazier. Meskipun tudingan itu tidak pernah dibuktikan di pengadilan, para. guru di daerah lain pun percaya pada tudingan itu karena mereka ternyata tidak mampu digerakkan untuk ikut-ikutan demontrasi Mereka membaca aroma politik demo guru itu lebih kental dibanding tuntutan murni untuk pejuangan para guru sendiri.. Para guru PNS di Banyumas malah melakukan aksi demo menolak kenaikan gaji, karena kenaikan gaji itu justru dinilai mengusik rasa ketidakadilan masyarakat yang masih dilanda krisis ekonomi.

Mereka yang menilai bahwa guru sekarang tidak layak gaji tinggi didasarkan pada kenyataan di lapangan, bahwa mayoritas guru kita memang menjadi guru hanya karena keterpaksaan ketika tidak bisa diterima bekerja di sector lain yang memberikan. Penghasilan lebih besar. Karena menjadi guru itu sebuah keterpaksaan, maka dalam menjalankan profesi mereka ogah-ogahan, kurang semangat, tidak ada kreativitas, tidak memiliki motivasi untuk maju, apalagi melakukan inovasi . Para guru tidak pemah merasa. gelisah bila para murid yang diajarnya setelah lulus hanya menjadi barisan pengangguran bahkan barisan pengamen di jalanan. Mereka juga tidak merasa gelisah atas merosotnya.mutu pendidikan nasional. Bila memiliki uang, mereka tidak suka membelanjakan bahan-bahan informasi (buku, majalah, dan buku) yang bisa meningkatkan wawasan mereka, tapi lebih suka membelanjakannya untuk kebutuhan konsumtif. Masalah yang mereka perbincangkan di sekolah pun bukan masalah-masalah akademis tapi masalah-masalah sepele dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa kawan sering punya usulan. Kalau mau memperbaiki kesejahteraan guru, maka langkah pertama yang harus ditempuh adalah, para guru yang ada sekarang dipecati dulu setelah itu baru dilakukan tes ulang. Mungkin hanya sekitar 25% saja dari guru yang ada sekarang yang layak menjadi guru, sedangkan sisanya yang 75% dipensiunkan dini. Rekrutmen guru di masa mendatang memakai sistem yang lebih valid lagi sehingga mampu menghasilkan guru-guru yang layak dibayar tinggi.

Langkah kedua adalah membuat skema kenaikan gaji guru, yang dapat memaksa guru agar kenaikan gaji itu tidak hanya untuk meningkatkan pengeluaran konsumtif mereka, tapi juga untuk pengeluaran-pengeluaran yang dapat meningkatkan kapasitasnya sebagai seorang guru, seperti membeli buku-buku bermutu secara rutin tiap bulan, berlangganan koran/majalah, -melihat film-film bermutu untuk meningkatkan apresiasi dan imajinasi mereka, meningkatkan kemampuan berbahasa, menulis, dan mengikuti berbagai kursus pengembangan diri, sehingga sebagai seorang guru itu memiliki wawasan yang luas, jiwa yang matang, serta aktif dalam bersikap sehingga mampu memberikan inspirasi kepada murid-murid untuk menjadi seorang pembaru.

Kenaikan gaji guru yang tinggi.hanya akari mubazir saja, tidak akan membawa perbaikan mutu pendidikan nasional, bila kenyataannya kenaikan gaji itu justru. hanya meningkatkan politik konsumtif mereka, sehingga meningkatkan kredit barang-barang mewah saia. Bila ini terjadi, maka kenaikan gaji guru berapun hanya mubazir saja, tidak akan pernah berdampak pada perbaikan mutu pendidikan nasional.

Yang penting untuk dicatat adalah, semua upaya perbaikan kualitas guru itu jangan dikoordinasi oleh organisasi mana pun termasuk birokrasi pendidikan dan PGRI, sebab bila dikoordinasi pada akhirnya hanya menjadi lahan objekan baru. Biarkan guru melakukan sendiri pembelian buku, koran/majalah, atau menentukan lernbaga kursus yang akan diikutmya sesuai dengan keinginan mereka. Tugas birokrasi pendidikan atau seorang guru hanya memberi motivasi dan memfasilitasi saja.

Jika kenaikan tunjangan fungsional itu tidak ada sedikit pun yang diinvestasikan untuk pengembangan diri guru, kenaikan tunjangan fungsional maupun gaji guru hingga 1.000% pun sama sekali tidak akan berdampak pada perbaikan kualitas guru maupun pendidikan nasional, tapi justru akan merusak suasana pendidilkan: Guru malah konstuntif dan malah mereka cenderung memperbesar kreditnya untuk barang-barang konsumtif.

Peningkatan kompetensi guru dengan berbagai penataran gaya Orde Baru, sebaiknya, juga jangan dijadikan proyek baru. Program itu lebih baik dihentikan. Sebab, penataran semacam itu hanya akan memboroskan dana dan membuang energi dengan hasil sangat minim, terutama bila orang-orang yang menatar dan mengkoordinasi masih tetap sama dengan mereka yang berperan pada masa Orde Baru. Model penataran dan pelatihan guru sekarang perlu disesuaikan dengan kembangan zaman, bukan sebagai proses penjinakan kepada para guru PNS, melainkan sebagai upaya untuk memperdayakan para guru. Fasilitas pelatihan pun hendaknya dibuka tidak untuk guru-guru negeri, tapi juga untuk guru-guru swasta, karena fungsi guru swasta dan guru negeri sebetulnya sama; yang membedakan hanya status sekolah tempat mereka. mengajar.

1 komentar:

  1. wow...
    saya sangat setuju sekali sama artikel di atas...

    BalasHapus